Thursday, November 19, 2009

Amir Syamsuddin, Sabar Meniti Sukses


Ia punya banyak cita-cita. Keputusannya untuk menjadi advokat melambungkannya sebagai salah satu pengacara sukses negeri ini.

Siri. Kata dalam Bahasa Makasar tersebut, selalu terpatri dalam sanubarinya. Siri yang berarti malu itu menjadi pegangan hidupnya. Ia berusaha untuk tidak dipermalukan oleh masyarakat. Untuk hal itu, ia selalu menjaga martabat dan kehormatan diri sendiri maupun orang lain. Dengan prinsip itu, Amir Syamsuddin menapaki satu per satu anak tangga kesuksesan.

Mengawali karir kepangacaraannya dengan menjadi staf magang di Kantor Pengacara O. C. Kaligis pada tahun 1979. Sambil kuliah sore hari di Universitas Indonesia, Amir terus menempa diri di kantor hukum yang menjadi seperti ‘universitas’ para pengacara papan atas tersebut.

Setelah mengumpulkan cukup bekal, ia membuka kantor hukum sendiri pada tahun 1983. Amir yang mengagumi pemikiran Muhammad Hatta ini mulai mengembangkan kantor hukumnya. Prinsip-prinsip koperasi diimplementasikan juga dalam manajemen kantor hukumnya. “Minimal 10 % dari gross income kami diperuntukan bagi kesejahteraan karyawan. Itu di luar gaji dan bonus mereka,” katanya mencontohkan.

Kebijakan tersebut membuat karyawannya merasa bertanggung jawab untuk secara bersama mengembangkan kantor hukum itu. Perlahan namun pasti Amir Syamsuddin & Partners terus berkembang. Kemajuan yang dialami membuat ikatan emosional Amir dan partner-nya semakin dalam. Selama 20 tahun usia kantor hukumnya, hanya ada satu partner-nya yang keluar dan membuka kantor sendiri.

Amir Syamsuddin makin berkibar. Seiring dengan itu para klien dari dalam dan luar negeri mulai merapat. Ribuan kasus telah ditanganinya. Meski begitu yang membekas dan tak mungkin dilupakannnya adalah saat dirinya bersama Albert Hasibuan dipercaya menjadi pengacara Majalah Tempo tahun 1987. Kala itu, Majalah Tempo menghadapi gugatan dari keluarga Presiden Soeharto, yang tidak puas dengan pemberitaan Tempo mengenai salah satu perusahaan keluarga tersebut.

Berhadapan dengan keluarga penguasa yang sangat disegani ketika itu tak lantas membuat Amir Syamsuddin ciut. Ia menerawang. “Tempo digugat Rp. 10 M. Sebuah anga yang mengerikan ketika itu. Namun, tangkisan kami terhadap gugatan tersebut, membuat pihak penggugat mencabut gugatan mereka,” tuturnya sambil tersenyum. Ia tak kuasa menyembuyikan rasa bangganya saat mengenang peristiwa itu.

Ia lalu ditunjuk menjadi penasihat hukum tetap Majalah Tempo dan grupnya. Ia setia menemani Tempo meski majalah tersebut kemudian dibredel, karena pemberitaan soal pemebelian kapal bekas dari Jerman Timur. Tempo menggugat. “Kami menang dua kali. Di Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Kami harus kalah ketika menghadapi pengaruh kekeuasaan di Mahakamah Agung yang cenderung tidak mandiri,” kata mahasiswa program S3 hukum Universeitas Indonesia ini, tenang.

Kenangan manis saat berjuang bersama Tempo mendapatkan tempat tersendiri dalam ruang hatinya. Walau ia mengaku tak mengerti manajemen Tempo untuk mengakhiri kerjasama dengannya setelah majalah berita itu terbit kembali, Ia taka kecewa. Ia memaknainya dalam bingkai profesionalisme. “Itu resiko profesi. Hal itu tak lantas menghilangkan hubungan emosional saya dengan Tempo,” ujarnya.

Profesionalismenya juga nampak dalam perlakuannya kepada putranya Didi Irawadi Syamsuddin. Meski satu profesi, ia secara tegas mengatakan tongkat estafet Amir Syamsuddin & Partners tak harus jatuh ke Didi. “Ia punya kantor hukum sendiri, terkadang dia juga membantu pekerjaan di kantor saya. Tapi untuk memimpin kantor ini ia harus menunjukan kompetensinya dulu, itupun kalau partner saya setuju semuanya,” kata pria yang menggemari novel-novel Pramudya Ananta Toer ini.

********

Pasukan TNI menggempur gerombolan Kahar Muzakar. Desing peluru membuat warga ketakutan. Seorang ibu, dibantu oleh anaknya yang sudah dewasa mengendap-endap menggendong, anaknya yang lain yang masih kecil bersembunyi di tempat persembunyian dalam tanah di kolong rumah panggung yang mereka tempati. Beberapa jam kemudian setelah suasana telah aman kembali, perlahan-lahan sang ibu menggendong kembali anak-anaknya yang terlelap kembali ke dalam rumah mereka. Kenangan masa kecil di Sulawesi Selatan itu tertata rapi dalam memori Amir Syamsuddin.

Amir mengahabiskan masa kecilnya sampai SMP di Makasar, lalu merantau ke Surabaya untuk melanjutkan sekolahnya. Sejak kelas satu SMA di Surabaya Amir telah bekerja. Ia kerap berganti pekerjaan. Amir pernah menjadi seorang juru cetak foto dalam kamar gelap, lalu bekerja di sebuah pabrik roti. Semua itu dilakukan dengan tujuan menata jalan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik.

Tahun 1965 Amir Syamsuddin menyapa Jakarta. Di ibukota ini karena ketertarikannya pada mesin, ia bekerja di sebuah bengkel, lalu membuka bengkel sendiri. Ia masih terus menata anak tangga utuk mencapai puncak sukses. Ia mengisi waktu luangnya dengan membaca banyak hal. Kegemaran membaca, membuat ia memilih advokat sebagai salah satu cita-citanya.

Sambil bekerja, ia lalu mendaftarkan diri di Fakultas Hukum UI, tahun 1978. “Kuliah satu tahun, pada tahun 1979 saya mulai magang di kantor Pak Kaligis. Pagi kerja, sore kuliah,” kenangnya.

Karir Amir Syamsuddin memang terus menanjak. Ia tak lupa membekali dirinya dengan pengetahuan yang lebih baik. Bapak tujuh anak dan sepuluh cucu ini, lalu melanjutkan pendidikan S2 hukum Universitas Indonesia. Ia mulai dikenal luas sebagai pengacara yang handal. Saat ini, selain klien individual dari dalam dan luar negeri, klien corporate juga merapat kepadanya, baik itu perbankan, properti, dan business enterprises.

Di tengah carut-marut dunia hukum di tanah air, Amir Syamsuddin berhasil meraih sukses sebagai pengacara yang punya integritas. Di usianya yang tak muda lagi, lelaki kelahiran Makasar 27 Mei 1946 itu masih terus berkarya, meski mulai secara bertahap membuat jarak. Saat ini, ia menemukan bahwa dirinya sedang resah menyaksikan bobroknya wajah peradilan di negeri ini.

Sebuah harapan disimpan dalam hatinya. Ia ingin melihat sebuah pembaharuan hukum, di mana masyarakat tidak lagi diperlakukan sewenang-wenang oleh pejabat publik. Amir Syamsuddin mulai menyuarakan cita-citanya dengan berbicara di seminar-seminar hukum dan menulis di kolom-kolom surat kabar. Ia percaya, dirinya tengah meretas jalan mewujudkan harapannya.(Christo Korohama/Manly)

Ryaas Rasyid, Dari Lurah Sampai Menteri


Ia hampir selalu sukses di setiap tugas yang diembannya. Karena kemampuannya, tak hanya lurah, kursi menteri pun didapatnya.

Tik. Tik. Tik. Suara mesin ketik memecah kesunyian. Selang beberapa jenak, terdengar orang suara membacakan sesuatu, disusul suara mesin ketik seolah beradu cepat. Dua orang sahabat di Institut Ilmu Pemerintahan Jakarta ( IIP ) itu sedang menyelesaikan sebuah skripsi. Si empunya skripsi tak bisa mengetik. Ia bertugas mendiktekan dan sahabatnya mengetik.

Kenangan persahabatannya dengan Jos Dawan semasa menimba ilmu di IIP masih segar dalam ingatan Ryaas Rasyid. Jebolan University of Hawai ini tak melupakan semua yang berperan dalam karirnya. Ia mengingat semuanya dengan baik, sebaik dia mengingat tiap jejak yang telah ditinggalkannya.

Mengawali karir di pemerintahan sebagai staf biasa biro kepegawaian Kota Makasar pada 1972, lalu berpindah-pindah bagian. Menjadi Staf administrasi bagian pemerintahan, staf tata usaha, sampai menjadi Mantri Polisi (sekarang wakil camat) Kecamatan Mariso. Setelah enam bulan Ryaas diangkat sebagai Lurah Melayu, Kecamatan Wajo, Makasar pada Agustus 1972.

Empat tahun lamanya ia bertugas sebagai lurah. Dalam masa kepemimpinannya Kelurahan Melayu menjadi kelurahan terbaik di Makasar. Berbagai prestasi diraih. Juara kebersihan, juara pemasukan pajak, juara pembangunan lingkungan, adalah sebagian prestasi Lurah Ryaas Rasyid.

Setelah purna tugas sebagai lurah, Ryaas melanjutkan sekolah di IIP Jakarta. Ketekunan dan keuletannya mengantarkan ayah satu orang putera ini sebagai lulusan terbaik di angkatan 1977. Ia diminta untuk menjadi tenaga pengajar di almamaternya. Meski sangat tertarik dengan tawaran itu, namun ia harus kembali untuk membaktikan diri bagi daerahnya.

Lelaki kelahiran Gowa, 7 Desember 1949 ini lalu kembali ke Makasar. Meski begitu, ia tetap menyimpan keinginan untuk menjadi dosen suatu saat nanti. Ia dipercaya menjadi wakil kepala sub dinas pajak. Di jabatan ini ia kembali menunjukan kemampuannya sebagai seorang pemimpin yang handal.

Dengan pendekatan personal yang baik, kinerja seluruh jajarannya meningkat. Bonus dan insentif tambahan diberikan kepada staf yang menjalankan tugas dengan baik. Hasilnya pendapatan daerah melalui pajak dan retribusi daerah meningkat sekitar 200% dari masa sebelumnya.
Prestasi itu membuat ia diangkat sebagai Kepala Bagian Pemerintahan Kota Makasar. Kerinduan untuk jadi dosen membuat Ryaas hanya sebentar menduduki jabatan ini. Pada pertengahan tahun 1979 ia memutuskan kembali ke Jakarta dan menjadi dosen di IIP. Ryaas tak hanya mengandalkan dosen sebagai mata pencahariannya, untuk bisa survive ia menjadi konsultan politik pemerintah, menjadi peneliti, sampai staf khusus Irjen Depdagri dilakoninya.

Saat merasa sudah cukup aman secara ekonomi, ia memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya. Ia menjatuhkan pilihannya di Northern Illinois University Amerika Serikat.Ia menyelesaikan kuliah master beserta tesis dalam waktu 20 bulan. Dengan gelar MA Politcal Science ia kembali ke Jakarta dan menjadi Direktur Laboratorium Pemerintahan IIP. Pada bulan Desember 1989, ia kembali lagi ke AS untuk mengambil program doktoralnya di University of Hawai. Setelah selesai pada Juli 1994 ia kembali ke Jakarta. Dan, pada bulan September tahun yang sama Ryaas Rasyid telah menduduki kursi rektor IIP.

*****

Suatu siang di tahun 1998, Ryaas Rasyid mendapat undangan makan siang dari Syarwan Hamid, Menteri Dalam Negeri yang baru dilantik. Dalam kesempatan itu Syarwan meminta kesediaan Ryaas untuk menjadi Dirjen Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah. “Saya terima, tapi dengan syarat,” kata pria yang terkesan dengan pemikiran Napoleon Bonaparte ini, menerawang. “Syaratnya, saya diberi kebebasan untuk mengembangkan kebijaksanaan yang menurut saya baik bagi pemerintahan,” lanjutnya mengenang. Dan, sang menteri menyanggupinya.

Hasilnya, lahirlah UU Politik, Pemilu, Kepartaian, Pemerintahan Daerah, Otonomi Daerah. Dampak dari semua itu, demokrasi berkembang dengan cukup baik walau masih terdapat kekurangan di sana-sini “Kalau bukan orang berjiwa besar seperti Pak Syarwan saya juga nggak bisa jadi apa-apa,” tuturnya jujur.

Ketika Gus Dur terpilih sebagai Presiden, Ryaas diminta untuk menjadi Menteri Otonomi Daerah. Beberapa bulan setelah itu terjadi reshuffle kabinet. Kementrian Otonomi Daerah dibubarkan. Ryaas dipercaya menjadi Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara. Ia kemudian memutuskan untuk mengundurkan diri, pada bulan Februari 2001, karena merasa tidak bisa berbuat apa-apa lagi di kabinet.

Ryaas kembali ke kampus dan menjadi dosen. Niat tulus untuk berbuat sesuatu bagi negeri yang dicintainya ini, membuatnya pensiun dini dan mendirikan partai. “Dengan partai politik, saya ingin memberi pencerahan kapada masyarakat, bahwa mereka berhak memperoleh pemerintahan yang baik. Dan hak itu adalah hak yang hakiki, karena itu kita merdeka,” kata pria yang percaya bahwa partai politik adalah jalan untuk mewujudkan impiannya tersebut.

Ia mengaku sedih menyaksikan penderitaaan rakyat karena harga BBM yang dinaikkan dengan begitu tinggi. “Pemerintah tidak mampu mengelola resources yang ada. Beban atas ketidakamampuan itu dipindahkan ke rakyat, dengan menaikkan harga. Rakyat kembali harus menderita,” katanya resah. Pandangannya menerawang seakan menembus tembok ruang kerjanya.

Diluar, senja makin merah kala matahari semakin dalam tenggelam di ufuk barat. Lelaki Makasar yang juga telah memasuki senja usia itu, masih sangat yakin Indonesia yang dicintainya ini akan memiliki wajah yang lebih baik, suatu saat. Dan, ia masih terus berjuang mewujudkannya. Ia pun yakin, ia tak sendiri.(Christo Korohama/Manly)

Rhenald Kasali, Selalu Percaya Pada Perubahan


Ia mengubah cara mengajarkan manajemen di kampus. Awalnya ia terlihat sebagai orang aneh, namun ia membuktikan bahwa metode partisipatif yang dikembangkannya sangat membantu mahasiswanya.

Sepucuk surat tiba di meja kerja Ketua Program Pascasarjana Ilmu Manajemen Universitas Indonesia. Surat yang ditandatangani 20 orang mahasiswa program doktoral itu, berisi permintaan penundaan tanggal ujian. Yang empunya meja hanya tersenyum. Ia menghubungi perwakilan para mahasiswa tersebut. “Kalian semua saya pecat,” tegasnya. Mahasiswa itu tergagap dan mengumpulkan teman-temannya untuk bertemu dengan sang ketua program.

Dalam pertemuan tersebut ia mendengar keluhan mahasiswanya. “Anda tidak bisa berlaku seperti ini. Anda semua mahasiswa doktoral. Ini cara serikat pekerja,” tenang ia menanggapi mahasiswanya. Seorang mahasiswa menimpali,”Tapi ini sekarang kan jaman demokrasi, Pak!” Ia langsung menjawab, ”Tidak ada urusan dengan demokrasi. Anda semua salah!” Tak ada lagi yang berani menjawab. Sunyi. “Saya mengerti kesulitan kalian, tapi cara yang kalian lakukan salah. Kita masih bisa membicarakan hal tersebut,” katanya tenang. Mereka lalu berembuk. Setelah mendapatkan pernyelesaian, mereka terlihat asyik bersenda gurau dengan sang ketua program.

Itulah Rhenald Kasali. Jebolan University of Illinois at Urbana & Champaign, Amerika Serikat ini, sangat piawai dalam menempatkan dirinya. Ia adalah seorang ketua jurusan yang tegas, namun pada saat yang bersamaan ia adalah seorang rekan, saudara dan bapak yang baik serta peduli dengan para mahasiswa dan stafnya. “Mereka bisa tertawa dan menangis bersama saya,” katanya sambil tersenyum.

Saar acara perpisahaan dengan dirinya sebagai Ketua Program Pascasarjana Ilmu Manajemen dengan mahasiswanya di program doktoral, kedekatan itu tergambar jelas. Ucapan terima kasih datang silih berganti dari para mahasiswanya. Ada yang masih meminta waktu untuk terus berkonsultasi.

Lelaki kelahiran Jakarta 13 Agustus 1960 ini mengaku bukan pure academician. “Saya memulai karir saya sebagai dosen dengan cara yang sedikit berbeda dari teman-teman di kampus,” ujarnya. Setelah menyelesaikan pendidikan S1 ekonomi di UI ia menjadi wartawan di Majalah Jakarta-Jakarta. Malang-melintang sebagai wartawan ia bekerja bersama Gani Djemat sebagai konsultan.

Seorang seniornya di FE UI menawarinya untuk jadi dosen di UI. Ia meninggalkan pekerjaannya sebagai konsultan dan menjadi dosen. Ia menerima tawaran tersebut karena ia melihat peluangnya untuk dapat belajar ke luar negeri terbuka. Meski harus bersaing dengan rekan dosen lainnya ia tak gentar. Kesabarannya membuahkan hasil ketika atas bantuan Prof. Dr. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, ia mendapat beasiswa ke Amerika Serikat.

Saat kembali dari AS, ia memutuskan untuk tidak menempatkan seratus persen kakinya di kampus. Ia mendirikan lembaga riset dan konsultasi manajemen, untuk menunjang keadaan ekonomi keluarganya. Selain itu lembaga itu menjadi tempat prakteknya sebelum mengajarkan manajemen di kampus. “Manajemen tak bisa diajarkan murni sebagai sebuah ilmu,” kata ayah dari Fin Yourdan Kasali dan Adam Makalani Kasali ini.

Sejak itu ia pun mengubah metode perkuliahan manajemen dengan metode partisipatif. Apa yang dilakukannya mendapat kritikan dari koleganya di kampus. “Banyak kesulitan dan tantangan yang saya hadapi, sampai pada upaya pembunuhan karakter, namun saya yakin dengan apa yang saya lakukan,” kata suami dari Elisa R. Kasali ini.

Ia yakin bahwa segala sesuatu akan menjadi usang dan kuno, sehingga selalu butuh pembaharuan. “Saya selalu percaya pada perubahan,” kata pria yang mengagumi Mahatma Gandhi ini. Keyakinannya menjadi kenyataan. Perlahan tapi pasti ia mendapatakan kepercayaan. Awalnya dari lingkungan di luar kampus, sampai akhirnya ia dipercaya sebagai Ketua Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada tahun 1998.

***

Anak lelaki itu pulang ke rumah dengan mata sedikit bengkak Baju seragamnya kotor dan lusuh. Lengan baju seragam satu-satunya itu sobek. Sang ibu menyambut anak itu dengan penuh cinta. Dibersihkannya wajah anaknya sambil sesekali menasihati anak lelakinya yang hampir setiap hari berkelahi itu. Setelah itu ia mencuci baju seragam tersebut dan menggantungnya dekat lampu teplok yang menerangi rumah sederhana mereka. Saat telah kering ia masih harus menjahit lengan baju yang sobek itu. Ia harus melakukannya sebab baju itu akan dipakai lagi oleh anaknya esok hari.

Pengalaman masa kecil itu membekas dalam ingatan Rhenald Kasali. “Saat dibelai dan dinasehati oleh ibu, saya merasa mendapatkan kasih sayang yang luar biasa,” ujarnya serius. Ingatannya terbang ke masa kecilnya yang sulit. Ia harus turun naik bis kota dari tempat tinggalnya di Kramat ke sekolahnya di daerah Kebayoran Baru.

Ia masih ingat perjuangan kedua orang tuanya untuk membiayai pendidikannya. Ketika hendak masuk SMA Kanisus keluarganya tak punya cukup uang. Ayahnya menemui pastor dan mengutarakan kesulitan mereka. Onad , demikian ia biasa dipanggil, akhirnya bisa bersekolah di sana. “Saya banyak belajar dari perjuangan orang tua saya,” katanya.

Dari perjuangan kedua orang tuanya, dia belajar bahwa tak ada tembok yang dapat menghalangi manusia untuk maju. Ia yakin bahwa di setiap tembok kesulitan selalu ada pintu. Ia pun percaya pada adagium yang diucapkan Eisntein, The measure of intelligence is the ability to change. Ukuran kecerdasan seseorang adalah pada kemampuan untuk berubah. Apa yang dicapainya, membuktikan bahwa Rhenald Kasali secara cerdas telah berhasil menemukan pintu keluar di setiap tembok kesulitan hidupnya untuk kemudian mengubah realitas hidupnya. (Christo Korohama/Manly)

Karol Josef Wojtyla, Musafir Dari Wadowice


Banyak yang tak yakin padanya saat pertama kali terpilih. Kerasulannya membuatnya mendapat tempat tersendiri di hati warga dunia.


Ribuan orang yang memadati Lapangan Santo Petrus, belum mau beranjak sejak dua hari yang lalu. Senin 16 Oktober 1978 itu telah di rembang petang. Lampu-lampu mulai dinyalakan. “Bianca, bianca,” sebuah teriakan terdengar. Mata semua yang hadir menatap cerobong asap Kapel Sistina. Asap putih mengepul di ujung cerobong. Seorang paus baru telah terpilih.

Ketika salib besar di depan Basilika Santo Petrus dinyalakan, Kardinal Pericle Felici, muncul di balkon. “Annuntio vobis gaudium magnum, Habemus Papam! Saya umumkan kepadamu sekalian sebuah kabar gembira…Kita telah memiliki seorang Paus,” suara Kardinal Felici disambut tepuk tangan. Ia melanjutkan, “Carolus Uskup Gereja Kudus Roma Kardinal Wojtyla yang memilih nama Yohanes Paulus II.”

Semua terdiam. Lalu terdengar bisik-bisik. “Wojtyla? Chie?” Who? Wie? Qui? Mereka sibuk mencari tahu dari manakah asal sang paus baru. Afrika? Cekoslowakia? Polandia? Tapi mengapa Polandia, dan bukan Italia? Karol Josef Wojtyla muncul dan memberikan berkat urbi et orbi (untuk Kota dan Dunia ).

Kharismanya menyihir semua yang hadir. “Semoga berkat Tuhan kita Yesus Kristus beserta kita semua… Para kardinal yang terhormat telah memilih seorang uskup baru Roma. Mereka memilih seorang uskup Roma yang berasal dari negeri yang jauh. Jauh tapi selalu begitu dekat lewat iman dan tradisi Kristen,” katanya lantang. Dan, ia pun memulai perjalanannya sebagai pemimpin tertinggi umat katolik di muka bumi ini.

***
Rakyat Polandia tengah bersukaria. Pasukan Polandia pimpinan Marsekal Josef Pilsudski berhasil memukul mundur pasukan Uni Soviet hari Selasa 18 Mei 1920. Di hari yang dikenang sebagai Hari Mujizat Polandia itu, tangis pertama seorang bayi laki-laki terdengar dari sebuah apertemen kecil Jl. Gereja No.7 Wadowice, sebuah kota kecil di selatan Polandia.

Tangis bayi itu diikuti senyum gembira pasangan Karol Wojtyla, seorang purnawirawan tentara berpangkat letnan dan Emiliana Kaczorowska seorang guru keturunan Lithuania. Di Wadowice, Karol Wojtyla biasa di sapa Pak Letnan. Bayi lelaki itu dinamai Karol Josef Wojtyla. Karol diambil dari namanya, sedangkan Josef diberikan untuk mengenang Marsekal Josef Pildsuski.

Karol Jr yang biasa dipanggil Lolek adalah anak ketiga pasangan Karol dan Emilia. Si Sulung Edmund telah berumur 14 tahun saat Lolek lahir, sedangkan yang kedua Olga meninggal pada tahun1914 saat usianya belum genap setahun. Lolek sangat disayangi oleh ibunya.

Kasih sayang ibu sebenarnya tak utuh diterima Lolek, karena ibunya sering sakit dan lebih banyak tergolek di tempat tidur. Siang 13 April 1929, seperti biasa sepulang sekolah Lolek langsung ke rumah. Ketika tiba di halaman rumah ia disambut oleh gurunya, Zofia Bernhardt, dengan sebuah berita,”Ibumu meninggal dunia.” Berita itu membuat Lolek sangat terpukul. Ia hanya bisa berdoa dan berpasrah pada kehendak Tuhan

Kematian sang ibu mempererat hubungan antara Pak Letnan, Edmund dan Lolek. Ayahnya kadang mengajak Lolek bermain bola bersama. Saat Edmund lulus, Lolek dan ayahnya pergi ke Krakow untuk menghadiri wisuda Edmund. Tak lama setelah Edmund bertugas sebagai dokter, Lolek dan ayahnya dikejutkan lagi oleh berita duka. Edmund meninggal karena terjangkit demam dari pasiennya. Meski kecewa, Lolek masih bisa berujar, ”Ini kehendak Tuhan.”

Lolek melanjutkan studinya di Universitas Jagellonian. Pak Letnan ikut bersama dengannya ke Krakow. Mereka tinggal di lantai bawah rumah saudara ibunya. Lolek mengisi waktu senggangnya dengan bermain teater dan sepak bola. Tak jarang ia menghabiskan waktu dengan berdiskusi bersama teman-temannya.

27 September 1939, Warsawa jatuh ke tangan Jerman. Setelah menguasai Polandia, Jerman menutup universitas di Polandia. Mahasiswa dan dosen dijebloskan ke kamp konsentrasi Sachsenhausen, Jerman. Lolek yang kebetulan lolos bekerja sebagai pesuruh di sebuah restoran, untuk membiyai hidupnya dan sang ayah yang mulai sakit-sakitan.

Lolek melakukan semuanya dengan gembira. Saat pulang kerja ia selalu masuk ke kamar ayahnya. Sampai sore 18 Februari 1941 itu. Ia begitu bersedih ketika masuk kemar dan menemukan ayahnya telah meninggal. Kematian ayahnya, adalah pukulan traumatik terbesar dalam hidupnya, dan diyakini oleh sebagian temannya sebagai faktor penting yang mendasari keputusannya untuk menjadi imam.

Ia masuk seminari dan terlibat dalam kegiatan bawah tanah melawan pendudukan Nazi. Ia menerbitkan surat kabar anti Nazi. Setelah pasukan Jerman ditarik, ia kembali kuliah di Jagellonian mengambil Fakultas Teologi. Ia ditahbiskan sebagai imam pada 1 Nopember 1946 dan melanjutkan studi doktoral di Universitas Angelicum Roma. Karol Wojtyla lulus doktor pada 16 Desember 1946. Saat kembali ke Polandia ia ditempatkan di sebagai pastor pembantu di Paroki Niegowic. Tak lama di paroki itu ia ditarik menjadi Pastor Paroki St. Florian.

Di tempat yang baru ini ia juga menjadi dosen di Universitas Katolik Lublin. Ia sangat populer. Ia lalu diangkat menjadi Uskup Bantu untuk Keuskupan Krakow di bawah pimpinan Uskup Agung Eugeniusz Baziak, pada 4 Juli 1958. Pada 30 Desember 1963 ia diangkat sebagai Uskup Agung Krakow dan ditahbiskan 3 Maret 1964. Paus Paulus VI kemudian mengangkatnya sebagai kardinal pada 26 Mei 1967, dan menerima topi kardinal tanggal 28 Juni 1967 di Kapel Sistina, Roma.

Saat Paus Paulus VI wafat pada Agustus 1978, Kardinal Wojtyla hadir dalam konklaf untuk memilih paus baru. Karidinal Albino Luciani terpilih sebagai paus dan menggunakan nama Yohanes Paulus I. Secara tak terduga para kardinal harus dikumpulkan lagi karena Yohanes Paulus I meninggal setelah duduk di Tahta Suci selama 33 hari. Dan, datanglah 16 Oktober 1978 yang bersejarah itu. Banyak yang tak percaya dengan keputusan para kardinal. Bagaimana mungkin memilih seorang paus dari negara komunis?

Tetapi, dengan penuh cinta dan dedikasi ia memimpin gereja katolik. Ia turut mengubah wajah dunia. Dia adalah tokoh sentral dibalik runtuhnya komunis. Michael Gorbachev pun memujinya “Apa yang terjadi di Eropa Timur beberapa tahun belakangan ini tidak akan mungkin pernah terjadi tanpa kehadiran Paus,” ujar Gorbachev pada 3 Maret 1992. Ia dengan rendah hati meminta maaf atas kesalahan gereja di masa lalu. Meski telah renta ia tetap setia dengan panggilannya. “ Bahkan Kristus sendiri pun tidak turun dari salibNya,” katanya tenang ketika banyak orang memintanya mundur karena kesehatannya yang terus memburuk.

Ia tetap berkarya sampai Sabtu malam 2 April 2005, sambil menatap ke jendela apartemennya, ia berujar lemah “Amin.” Ia menyudahi karyanya, diikuti doa ribuan orang yang datang ke lapangan Santo Petrus dan tangis duka dunia yang meratapi kepergiannya.(Christo Korohama/Manly)



Sang Pecinta Manusia

Di atas nisan putihmu, bermekaran bunga-bunga putih kehidupan
Oh, berapa tahun hilang tanpamu-berapa tahun?
Di atas nian putihmu,
Tertutup kini untuk selamanya, sesuatu yang tampak terbit :
Kematian yang tak dapat dijelaskan
Diatas nisan putihmu,
Ibu, cintaku yang tanpa akhir.


Puisi Makam Putih itu, ditulis Karol Wojtyla ketika berusia 19 tahun. Saat ibunya meninggal Karol sangat kehilangan. Rasa kehilangan itu mengantarkannya untuk berdoa pada Bunda Maria. Setiap hari ia tak pernah melupakan doa. Dan, ia selalu merasa terhibur dan kuat menjalani hidup setelah berdoa pada Maria. Pengalaman ini membentuk kehidupan spiritual Karol yang begitu kuat dalam devosi kepada Maria.

Penderitaan yang dialaminya mulai dari kematian sang ibu, Edmund, dan terakhir ayahnya, serta penderitaannya selama pendudukan Nazi mematangkan dirinya. Ia menerima semuanya itu sebagai kehendak Tuhan. Hal ini membuat ia pun gampang memaafkan dan mencintai sesamanya. Mehmet Ali Agca adalah orang yang merasakan kelembutan hati Sang Paus.

Agca yang melakukan percobaan pembunuhan padanya 13 Mei 1981, tersentak ketika dari rumah sakit Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa ia mengampuni penembaknya. Setelah itu pada 27 Desember 1983, Bapa Suci mengunjungi Agca di penjara. Mereka berbicara berdua saja. “Apa yang kami bicarakan harus merupakan rahasia antara dia dan saya. Ketika berbicara dengannya saya anggap ia adalah seorang saudara yang sudah saya ampuni dan saya percaya sepenuhnya,” kata Bapa Suci setelah pertemuan. (Christo Korohama/Manly)

Monday, November 16, 2009

Gede Prama, Berguru Pada Semesta dan Kehidupan


Sukses baginya adalah ketika seseorang sudah mengalir sepenuhnya dengan kehidupan. Pada saat itu, kebebasan sebagai salah satu puncak kehidupan telah dicapai.


Anak kecil itu kerap menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengobrol dengan alam sekitarnya. Kadang pada malam hari ia duduk di halaman untuk bercakap-cakap dengan bulan dan bintang. Di lain waktu ia terlihat asyik berbincang dengan pohon pisang Sang ayah yang diam-diam memperhatikan puteranya mulai khawatir. Apakah mungkin si bungsu dari 13 bersaudara ini memiliki kelainan jiwa?

Sekian puluh tahun kemudian Gede Prama menemukan bahwa perbincangan-perbincangannya dengan alam semasa kecil di Bali, sangat berperan dalam membentuk kepribadiannya. Ia mengaku banyak menemukan kebijasanaan hidup dalam perbincangannya itu yang kemudian dituangkannya dalam tulisan dan konsultasi yang berikan pada klien-kliennya.

Ia melihat sukses adalah sebuah proses yang bergerak seiring umur manusia. Ketika muda sukses baginya adalah sebuah usaha menuju keadaan yang survive dan independent dari orang tua. Keinginan itulah yang mendorongnya untuk menyelesaikan sekolahnya agar bisa mandiri.

Selesai dari Fakultas Ekonomi Universitas Udayana Bali, ia mencari sebuah tantangan baru untuk bisa survive dan independent. Gede Prama memutuskan untuk menikah. Saat itu pengertiannya tentang sukses bergerak lagi. Sukses baginya adalah ketika sang istri bisa berbahagia dan anak-anaknya bisa bersekolah dengan baik.

Jakarta menjadi pilihan untuk dapat meraih mimpinya. Seperti halnya para pencari kerja lainnya di ibukota yang ganas ini, ia melamar ke berbagai perusahaan. Nyaris ia menjadi sopir bis antarkota. Namun pada saat yang bersamaan lamarannya di Bank BTN diterima.

Gede Prama tumbuh sebagai seseorang yang menyukai tantangan. Ia tergolong orang yang tidak terlalu betah dengan kemapanan. Gede tak pernah berlama-lama pada sebuah posisi tertentu. Tak cocok dengan lingkungan birokrasi di BTN, ia kemudian keluar, lalu diterima bekerja di Matshusita Elektrik.

Di saat teman-teman seangkatannya masih menganggur Putera Kampung Tajun Singaraja ini sudah berdasi dan bermobil. Ketika berhasil duduk sebagai asisten manajer di perusahaan Jepang ini ia memutuskan mundur dan melanjutkan sekolah. Suami dari I Gusti Ayu Suciati ini memilih Prasetya Mulya sebagai tempat untuk melanjutkan studi.

Menyelesaikan studi magisternya dengan hasil memuaskan membuat ia kemudian diminta untuk menjadi pengajar di Presetya Mulya. Gede kembali tak betah. Ia tak dapat menahan hasrat untuk melanjutkan studi di luar negeri. Ia melamar ke British Council untuk mendapatkan program bea siswa dan diterima. Dia melanjutkan studinya Leincester Inggris. Di Inggris ia kembali mendapatkan bea siswa untuk MBA Refreshment Course di Perancis.

Setelah itu Gede Prama kembali ke Jakarta. Sambil mencari kerja ia menjadi konsultan manajemen di beberapa perusahaan. Pada masa ini ia mengaku merasa sukses ketika suaranya didengar, tulisannya dibaca dan dihargai.

Salah satu perusahaan obat tradisional yang menjadi kliennya, meminta dirinya untuk menjadi komisaris. Pada usia 38 tahun, ia diminta untuk menduduki kursi CEO di perusahaan itu.Tapi Gede Prama tak berlama-lama di tempat itu. Setelah dua tahun ia meninggalkan perusahaan itu. Ia lalu ditawari oleh seorang temannya di pemerintahan untuk menjadi direktur utama di sebuah konglomerasi besar di negeri ini.

Gede Prama kembali tidak betah. Hanya sekitar tiga bulan. Bekerja di perusahaan itu ia mulai khawatir akan kehilangan kejernihan dan kejujurannya. Di tengah kegelapan krisis multidimensi yang melanda Indonesia, Ayah tiga anak ini memilih mundur dan berkonsentrasi penuh di Dynamics Consulting yang telah dirintis beberapa tahun sebelumnya.

Di perusahaan jasa konsultasi ini, ia merasa menemukan tempat pengabdian sebenarnya. Di tempat pengabdian yang disebutnya indah ini, dia mulai melihat ke belakang pada setiap jejak yang ditinggalkannya. Ia lalu menemukan bahwa ada serangkaian ‘kecelakaan dan keberuntungan’ yang berperan dalam sukses yang dicapainya.

Belakangan ia memaknai semua ‘kecelakaan dan keberuntungan’ itu sebagai bagian dari cara Pemilik Kehidupan ini bertutur untuk dirinya. Dalam refleksinya ia juga menemukan semua yang dialaminya adalah bentuk pernyataan cinta dari Tuhan. Cinta itulah yang mengantarnya terbang dari satu tempat ke tempat lainnya, membelokannya ke sana ke mari sampai ia mendapatkan tempat terbaik bagi dirinya.

Bagi ayah dari Luh Setwika, Made Adi Laksmana, dan Komang Krisna ini adalh dirinya harus selalu berarti bagi orang lain. Melalui 18 buku yang dia tulis, seminar dan konsultasi manajemen yang dilakukannya banyak perusahaan telah terbantu. Demikian juga, jutaan orang yang bekerja di perusahaan-perusaahaan tersebut.

Gede Prama telah memilih sebuah jalan yang sunyi, hanya bergelut dengan pemikiran dan berkawan dengan kata-kata. Namun di jalan yang sunyi itu, ia menjadi berarti bagi orang lain. Dari ruang kerjanya yang asri di perkantoran Menteng Sektor Tujuh Bintaro, Gede Prama, lelaki kelahiran 2 Maret 1963 masih terus berguru pada semesta dan kehidupan.(Christo Korohama/Manly)

Vincent Van Gogh, Ironi Sebuah Kehidupan


Karyanya memecahkan rekor sebagai lukisan termahal di dunia. Sayang, ia tak menikmati sepeserpun hasil keringatnya. Depresi berat membuat ia menembakkan sebuah peluru ke dadanya.

Gustav Pauli, Direktur Bremen Art Museum Gallery, menghadapi gelombang protes dari kelompok seniman kota Bremen. Keputusannya untuk membeli lukisan The Poppyfields pada akhir tahun 1910 dengan harga DM 30 ribu membuat komunitas seni Jerman tercengang. Sebuah nilai yang tidak kecil pada masa itu.

Harga tersebut dinilai tidak masuk akal. Bagi para pemerhati seni di Jerman nilai tersebut terlalu mahal untuk sebuah lukisan pemandangan. Apalagi, lukisan itu adalah karya Vincent Van Gogh, pelukis tak terkenal berkebangsaan Belanda. Dan, jadilah protes itu kemudian dibumbui oleh isu nasionalisme.

“Spirit sebuah bangsa hanya bisa diciptakan oleh seniman yang darah dan dagingnya berasal dari bangsa tersebut. Bukan berasal dari seniman bangsa yang lain,” kata Carl Vinnen, pelukis lokal Bremen menanggapi kejadian yang jadi polemik di Bremen selama tujuh bulan sejak The Poppyfield dibeli.

Vincent Van Gogh boleh jadi belum terkenal pada masa itu. Putera sulung pasangan Theodorus Van Gogh dan Anna Cornelia née Carbentus ini adalah seorang pemurung. Ia selalu berkutat dengan pemikirannya sendiri, sebuah kebiasaan yang membuat dia mengalami gangguan psikologis. Saat usia sembilan tahun Vincent bersekolah di Zevenbergen Belanda, tempat ia belajar bahasa Perancis, Inggris dan Jerman. Di sini ia pertama kali mulai berkenalan dengan kanvas dan melatih tangannya untuk menari bersama kuas di atasnya.

Den Haag menjadi kota tujuan segera setelah ia menyelesaikan sekolahnya pada 1869. Atas bantuan Uncle Cent, salah soerang pamannya, Van Gogh magang di Goupil & Cie, sebuah agency seni yang berpusat di Paris dengan beberapa cabang di Eropa. Van Gogh lalu mulai sering mengunjungi museum dan galeri seni di Den Haag.

Ia kemudian dipindahkan ke Goupil & Cie cabang London.di tahun 1873. Di kota ini Van Gogh jatuh cinta pada seorang gadis yang juga adalah adik dari pemilik rumah. Hubungan mereka tak lama. Ketika si gadis memutuskan hubungan mereka, Van Gogh sangat terluka dan depresi. Ia sangat terguncang. Kondisi psikologisnya mulai terganggu. Van Gogh lalu pindah ke Paris.

Luka akibat kegagalan cintanya membuat dia meninggalkan pekerjaannya dan kembali ke Inggris untuk melanjutkan sekolahnya di Ramsgate. Ia memilih belajar teologi, dan dalam waktu setahun setelah itu, atas referensi dari Pendeta T. Slade Jones, ia menjadi guru kitab suci. Ia kemudian kembali ke Amsterdam dan melanjutkan studi teologi sambil bekerja di sebuah toko buku. Saat meneyelesaikan pendidikan, ia menjadi seorang yang sangat fanatik pada kitab suci dan mengikuti ajaran kitab suci secara radikal.

Vincent Van Gogh lalu meninggalkan Belanda menuju sebuah pertambangan di Borinage Belgia. Dalam kehidupan yang serba prihatin di pertambangan itu ia mulai mengajarkan kitab suci kepada para pekerja tambang. Dalam kondisi serba miskin ini keinginan untuk melukis mulai tumbuh lagi dalam dirinya. Sekitar tahun 1880 ia memutuskan meninggalkan pekerjaannya sebagai pewarta kitab suci dan sepenuhnya melukis.

Ia mulai melukis para pekerja tambang dan kemelaratan para tukang tenun di sekitar area pertambangan. Theo adiknya mulai membantu dia untuk belajar melukis pada Hendrik Weissenbruch dan George Hendrik Breitner. Di masa inilah ia bertemu Clasina Maria Hoornik seorang pelacur yang telah memiliki seorang putri dan tengah mengandung. Mereka berdua kemudian memutuskan hidup bersama.

Ia terus belajar melukis, meski kesehatannya tak cukup bagus. Ia sempat menjalani perawatan di rumah sakit selama tiga minggu karena mentalnya terganggu. Ia mulai melukis dengan menjadikan Clasina dan bayinya sebagai model, setelah selesai menjalani perawatan. Tak lama berselang Van Gogh meninggalkan Clasina dan mulai hidup untuk melukis. Ia pergi ke Drente, di bagian utara Belanda dan mendirikan studio lukisan di situ atas bantuan Theo.

Di studio ini ia menghasilkan beberapa karya di antaranya The Potato Eaters yang mendapat pujian luas. Van Gogh lalu pindah ke Paris dan mulai berhubungan dekat dengan beberapa pelukis di antraranya Bernard dan Paul Gauguin. Tak betah di Paris ia pindah lagi ke Arles di sebelah selatan Perancis. Ia mendirikan studio Yellow House, tempat ia menghasilkan karya-karya terbaiknya. Ia mengajak temannya Paul Gauguin untuk bekerja bersama agar menghasilkan karya yang dapat diterima komunitas seni.

Dari Yellow House mereka berkarya dan terlibat diskusi tentang seni. Perbedaaan pandangan antara mereka selalu bisa diatasi, sampai pada tanggal 23 Desember 1888 tiba-tiba Vincent menyerang Gauguin dengan silet. Persahabatan keduanya rusak sebelum cita-cita mereka terwujud. Menyesal dengan tindakannya Van Gogh menyayat telinga kirinya hingga putus. Ia depresi berat. Theo menemuinya dan mulai membantu perawatannya.

Ia dirawat di rumah sakit jiwa Saint Paul de Mausole. Di rumah sakit ini ia menghasilkan sebuah karya monumental, Starry Night. Ironis, karena di saat ia mengalami gangguan mental dan berada di rumah sakit jiwa, karyanya justru diterima di komunitas seni Eropa. Starry Night menjadi salah satu dari enam karyanya yang diikutkan dalam pameran lukisan di Salon des Indépendants pada bulan September dan Nopember 1889.

Setelah keluar dari rumah sakit jiwa, ia terus melukis meski berada dalam pengawasan dokter karena mentalnya yang belum stabil. Adiknya Theo yang saat itu sedang dalam kesulitan keuangan tak sempat mengawasi ketika siang hari 27 Juli 1890, sambil berjalan di taman ia menembakkan pistol ke dadanya. Lelaki kelahiran 30 Maret 1853 itu tak langsung meninggal. Ia kembali ke rumah dalam keadaan terluka namun tak memberi tahu seorang pun.

Kondisinya memburuk malam itu. Keesokan harinya Theo datang. Dalam pelukan Theo ia hanya berucap “I wish could pass away like this.” Pagi-pagi tanggal 29 Juli 1890 seluruh cerita hidup Vincent Van Gogh yang dipenuhi kisah getir itu berakhir. Meski begitu ia terus akan dikenang seperti yang dikatakan Don Mc Lean dalam syair lagu Vincent yang terkenal itu.
For they could not love you, But still, your love was true
And when no hope was left inside
On that starry, starry night
You took your life as lovers often do --
But I could've told you, Vincent:
This world was never meant
For one as beautiful as you…
(Christo Korohama/Manly)


Sebuah Pengabdian Untuk Seni Lukis

“Dan, tujuanku dalam hidup ini adalah melukis sebanyak yang aku bisa lakukan, kemudian di akhir hidupku saat aku meninggal, aku akan menoleh kembali dengan cinta dan sedikit sesal lalu berucap, ‘Oh, itu lukisan yang pernah kubuat’”.

Petikan surat Van Gogh kepada Theo adiknya itu, menegaskan bahwa lelaki yang mengiris kupingnya sendiri setelah bertengkar dengan temannya ini memang hanya ingin melukis dan melukis sepanjang hidupnya.

Vincent Van Gogh mendedikasikan sebagian besar hidupnya untuk melukis. Pria setengah gila ini mencurahkan seluruh hidupnya untuk seni tanpa pernah mau peduli berapa banyak yang ia dapatkan dari karyanya.

Setelah ia meninggal, tarian tangannya dia atas kanvas mulai dihargai tinggi. Puncaknya ketika lukisan The Portrait of Dr. Gachet memecahkan rekor sebagai lukisan termahal di dunia. Ryoei Saito membeli lukisan tersebut seharga USD 82.5 juta pada tahun 1990.

Ia tak pernah menikmati sedikitpun hasil karyanya. Kenyataan hidupnya membuktikan perjuangan untuk sebuah eksistensi di dunia seni. Ironis, karena pengakuan atas karyanya didapat setelah dia meninggal. Seperti julukannya, Sang Pemurung Sejati, Vincent van Gogh adalah puncak kehampaan dan kesendirian.

Ia mungkin tak peduli dengan semua itu. Ia pun mungkin hanya tersenyum mendengar alasan pengunjung yang rela antri berjam-jam saat cuaca di bawah 10 derajat Celcius pada Pameran Lukisan The Poppyfield and the Artist's Protest, di Bremen 19 Oktober 2002 sampai 26 Januari 2003. Mereka cuma punya satu alasan: Vincent Van Gogh. (Christo Korohama/Manly)

Minoru Yamasaki, Setia Pada Kelembutan dan Seni





Ia dikritik karena menghasilkan karya yang selalu mengedepankan nilai estetika. Namun, dengan rancangannnya tersebut Minoru Yamasaki turut mengubah wajah dunia.


Ribuan orang sejak pagi, mengalir bak air dari tiap sudut Manhattan menuju Ground Zero, untuk memperingati tragedi WTC. Hari itu, 11 September 2003, dua tahun setelah peristiwa mengenaskan itu. Pukul 08.46 tepat saat pesawat United Flight 175 menabrak menara WTC bagian utara, suasana hening menggelayuti kota. Seluruh aktivitas dihentikan. Semua menundukan kepala, diiringi bunyi sirene dan lonceng gereja.

I like the way they looked down from the sky
And didn’t seem to mind the way I cried
And didn’t say, “No wipe away those tears”
But shining through the dark they calmly stayed
And gently held me in their quiet way
I felt them watching over me, each one
And let me cry and cry till I was done


Suara Peter Negron, anak salah seorang korban tragedi tersebut terdengar perlahan menggetarkan. Stars, puisi karya Deborah Chandra itu, seakan menyihir warga kota yang berkumpul di sana. Isak tangis mengiringi larik-larik puisi yang dibawakan anak lelaki 13 tahun itu. Bayangan akan tragedi tersebut seakan hadir kembali.

Saat pertama kali merancang WTC Minoru Yamasaki tentu tak pernah berpikir bahwa gedung karyanya tersebut akan menjadi ladang pembantaian bagi 3445 orang yang menjadi korban tragedi kemanusiaan itu. Ia seorang pecinta damai. "The World Trade Center is a living symbol of man's dedication to world peace,” kata Yamasaki.

Arsitek kelahiran Washington 1 Desember 1912 ini, tumbuh dalam keluarga yang miskin. Ayahnya John Tsunejiro Yamasaki bekerja sebagai seorang agen pembelian sedangkan ibunya Hana ( Ho ) Yamasaki, seorang pianis. Darah seni sang bunda mengalir juga dalam diri Minoru, dan membentuk dirinya sebagai sebuah pribadi yang lembut dan perasa.

Minoru Yamasaki sadar betul bahwa ia harus keluar dari kemiskinan. Untuk dapat melanjutkan studinya di University Of Washington, ia harus bekerja di pabrik pengalengan ikan di Alaska setiap musim panas. Pekerjaan itu dilakoni dengan upah US$17 sen per jam. Perjuangan Yamasaki memang berat. Namun ia selalu mau belajar. “Ketika memandang para pekerja yang lebih tua, saya merasa mereka akan menghabiskan hidupnya dengan sebuah kehidupan yang keras dan tertekan. Hal itu membuat bertekad untuk tidak membiarkan hal itu terjadi pada diri saya,” katanya pada suatu ketika.

Perjuangan Yamasaki muda tidak sia-sia. Ia menyelesaikan studinya di University of Washington pada 1934. Seorang arsitek muda terlahir, namun harus berhadapan paceklik lapangan pekerjaan bagi seorang arsitek di Washington. Yamasaki kemudian pindah ke New York.

Di kota ini, ia memilih melanjutkan studinya terlebih dahulu. Dari New York University, ia memperloeh gelar masternya. Setelah itu ia bekerja di sebuah perusahaan arstitektur. Seperti yang dituturkan oleh The Detroit Mirror, Yamasaki kemudian berhasil menjadi kepala bagian desain dari Smith Hinchman & Grylls, sebuah firma arsitektur terkenal di Detroit.

Setelah empat tahun, ia bersama dua orang rekannya, George Hellmuth dan Joseph Leinweber, keluar dari Smith Hinchman & Grylls. Mereka mendirikan firma sendiri di Detroit dan St. Louis. Melalui firma ini Yamasaki mulai unjuk gigi.Karya-karyanya bernilai seni tinggi. Kelembutan, dengan struktur bangunan digambarkan bak kain tenun menjadi ciri karya Yamasaki. Hasil rancangannya, McGregor Center di Detroit’s Wayne State University memperoleh penghargaan dari American Institute Of Architects.

Pada tahun 1959 ia mendirikan Yamasaki & Associates. Yamasaki merekrut banyak arsitek muda. Dan, dari firma ini mereka meniupkan sebuah aliran baru yakni nonfunctional decorative romanticism, yang bertentangan dengan gaya kontemporer dari Mies van der Rohe dan Eero Sarinen, dua orang arsitek terkemuka yang mempengaruhi gaya arsitektur di Detroit.

Tahun 1966, Yamasaki mendapatkan kepercayaan dari Port Authority untuk membangun Gedung World Trade Center di atas tanah seluas 6,4 hektar. Minoru Yamasaki mempelajari tak kurang dari 100 desain sebelum membangun tujuh bangunan yang terdiri atas dua menara kembar, Menara Satu setinggi 414 meter, dan Menara Dua 412 meter; kemudian satu gedung perkantoran 47 lantai dua bangunan perkantoran sembilan lantai; satu kantor Pabean AS delapan lantai; dan sebuah hotel 22 lantai.

Ketika menara selatan diselesaikan pada tahun 1972, Yamasaki harus menyaksikan penghancuran salah satu karya unggulannya, kompleks perumahan sosial Pruitt Igoe, St Louis, karena dianggap menjadi fasilitas hunian yang sarat masalah sosial. Namun itu tidak berarti habisnya karir Yamasaki.

Gedung WTC hasil rancangannya mengantarkan Yamasaki berada di jajaran arsitek yang turut mengubah wajah dunia, meskipun karyanya tersebut tak lepas dari kritik.Meski tak luput dari kritik namun menara kembar karya Minoru Yamasaki yang wafat pada 7 Februari 1986 itu akhirnya menjadi salah satu simbol kota New York. Gedung itu tetap angkuh berdiri menggapai langit sebelum runtuh oleh dua buah pesawat Boeing 767 pada, Selasa 11 September 2001.

Minoru Yamasaki mungkin menangis menyaksikan karya itu luluh lantak. Namun hidup masih harus berputar terus. Pemerintah New York bertekad untuk membangun sebuah bangunan di atas reruntuhan WTC. Siang hari 4 Juli 2004 peletakan ribuan orang kembali memadati Ground Zero menyaksikan peletakan batu pertama pembangunan Freedom Tower.

Ketika senja datang menjemput, warga kota yang berkumpul itu pun mulai meninggalkan Ground Zero. Bola matahari merah jingga perlahan surut di ujung garis Sungai East River yang tenang. Purnama muncul lalu berbaur dengan cahaya lampu kota yang memantul di East River. Dari tempat dia berada kini, Minoru Yamasaki mungkin akan tersenyum menyaksikan New York dan dunia memasuki sebuah lembar sejarah baru tanpa WTC, saat pagi menyapa.(Christo Korohama/Manly

Saturday, November 14, 2009

Vagina Monolog : Sebuah Pesan Kesetaraan



Waktu berlalu. Era berganti. Namun diskriminasi pada kaum hawa tak sepenuhnya hilang. Vagina Monolog menyanyikan sebuah harapan kesetaraan perilaku. Tabu membicarakan vagina? Tentu tidak.


Vaginaku menyanyikan semua nyanyian gadis kecil, semua bunyi lonceng, semua nyanyian padang liar di musim gugur, nyanyian vagina, nyanyian ruamah vagina. Tidak sejak tentara meletakkan riflenya yang panjang dan keras masuk ke dalamku. Begitu dingin. Tangkai bajanya menghancurkan hatiku………...

Itulah nukilan narasi yang ditulis oleh Eve Ensler dalam bukunya yang terkenal Vagina Monologue. Buku tersebut seakan mewakili sebuah litani panjang kaum hawa di dunia. Eve Ensler sendiri tak pernah menduga bahwa bukunya akan mendapat sambutan luas dari kaum feminis di dunia.

Buku yang meraih penghargaan The Obbie Award Winning Play tersebut oleh banyak pengamat dianggap berhasil memberikan penilaian yang objektif terhadap perempuan. Pada tataran selanjutnya diharapkan ada sebuah paradigma baru yang lebih lurus dan proporsional tentang perempuan.

Perang Bosnia menjadi sumber inspirasi bagi Eve dalam menuliskan buku ini. Perang ini bukan sebuah peperangan biasa. Perang Bosnia nyaris menjadi pemusnahan sebuah bangsa. Bosnia menjadi ladang pembantaian jutaan nyawa tak berdosa. Dan, seperti lazim di manapun dalam sebuah peperangan korban terbesar adalah kaum perempuan.

Mereka harus rela kehilangan segalanya. Keluarga, orang-orang tercinta sampai yang hakiki melekat pada diri mereka. Ya, mereka harus kehilangan harga diri, karena menjadi sasaran perkosaan. Tempat nafsu binatang para serdadu perang dilampiaskan. Dan, hakekat raga perempuan tersebut adalah vagina. Dari titik itulah Eve Ensler memulai penulisannya.

Ia tak hanya melihat Bosnia. Ensler melangkahkan kakinya ke berbagai belahan dunia. Eropa, Asia, Afrika dan Amerika ia singgahi untuk menemui dan mewawancari para wanita, dengan sebuah tema besar pelecehan, perkosaan dan penindasan yang dialami oleh kaum hawa.

Dari perjalanannya, Eve, perempuan berdarah India itu, menemukan bahwa meski dipisah oleh ruang dan waktu, namun hasil dari pelecehan seksual tersebut sama. Perempuan korban pelecehan seksual selalu mengalami trauma mendalam bahkan sampai teralienasi dari lingkungan sosial.

Dengan fakta yang ditemuinya, ia menuliskan sebuah monolog vagina. Sebuah keluh, entah kepada siapa. Sebuah rintih yang tak sempat terdengar. Terpendam di dasar hati. Namun apapun namanya, keluh atau rintihan, yang pasti monolog vagina tersebut adalah sebuah ungkapan kejujuran.

Vagina Monolog tak hanya menjadi keluh perempuan korban pelecehan seksual. Tulisan Ensler tersebut mewakili suara semua kaum hawa, atas sekian banyak ketidakadilan perlakuan yang mereka terima. Vagina Monolog seakan menampar kesadaran kaum hawa untuk tak sungkan bicara tentang dirinya. Tak malu mengungkapkan rasa terdalam dari diri mereka.

Sulit memang pada awalnya. Hal itu pun diakui oleh Theresia Kusmiadi, salah seorang korban inses. Dalam sebuah tulisannya di Harian Kompas, Theresia mengakui baru mengikuti program pemulihan di tahun 1994 atau sekitar 23 tahun sejak ia mengalami inses. Sebuah waktu yang panjang untuk bedamai dengan realitas yang dialaminya.

Program pemulihan itu dijalaninya setelah ia mengalami luka secara fisik dan mental, yang membuatnya seolah menjadi pribadi yang terpasung dari lingkungannya. Dan, untuk memulai proses itu ia harus pindah ke sebuah lingkungan yang serba baru. Terapi tersebut dijalaninya di Amerika Serikat, ribuan mil dari Indonesia, negeri tempat ia mengalami perlakuan tak menyenangkan tersebut.

Apa yang dialami Theresia memang menyedihkan. Situasi tersebut terjadi karena perlakuan yang cenderung diskrimininatif terhadap perempuan, apalagi perempuan korban pelecehan seksual. Secara tak langsung hal tersebut membuat perempuan terpasung.

Kondisi itu semakin diperparah oleh realitas bahwa banyak di antara kita yang tidak berperspektif perempuan. Dan, hal tersebut membuat perempuan terus berada dalam sebuah kepatuhan atas nilai yang sama sekali tak pernah ramah terhadap mereka. Sialnya tak banyak diantara kaum perempuan yang menyadari realitas tersebut.

Keadaan ini juga yang membuat perempuan terpenjara secara pemikiran. Perempuan seolah tak layak mengenal tubuhnya. Fantasi atas tubuhnya pun dibatasi. “Membicarakan alat reproduksinya sendiri pun ditabukan,” kata Dian Kartika Sari dari Koalisi Perempuan Indonesia, sepertu yang dilansir Kompas Cyber Media. Kenyataan-kenyataan tersebut telah beralangsung sangat lama dan seolah telah diterima sebagai sebuah keterberian oleh kaum perempuan dan sebuah kebenaran bagi kaum pria.

Dan, Eve Ensler melalui Vagina Monolog berusaha untuk mendobrak hal tersebut. Monolog itu bertutur jujur tentang apa yang diharapkan vagina sebagai salah satu organ tubuh wanita. Berapa banyak yang peduli bahwa vagina dengan 8100 syaraf sensitif itu membutuhkan kenikmatan yang wajar?

Mungkin juga tak ada yang mau peduli bahwa vagina membutuhkan saat sendiri, saat tenang untuk beristirahat. Dan, karena ketidakpedulian itu perempuan terpaksa harus berbohong dengan berpura-pura orgasme agar lelaki puas? Pernahkah kita berpikir untuk memperlakukannya sama dengan bagian tubuh yang lain?

Pertanyaan-pertanyaan reflektif tersebut setidaknya membuat kita harus kembali berpikir tentang kesalahan cara pandang terhadap perempuan. Tak hanya hal-hal yang serius, Ensler pun menggambarkan harapan yang lucu seperti pakaian model apa yang diinginkan vagina. Terkesan lucu namun sangat manusiawi.

Ketika naskah buku tersebut dipentaskan dalam bentuk teater di Madison Square Garden, New York, orang berduyun-duyun datang menyaksikan. Sekitar 18.000 pengunjung menyaksikan penampilan 70 perempuan yang membawakan monolog tersebut dalam rangka peringatan hari perempuan sedunia (V-Day) tahun 2001 tersebut.

Pertunjukan tersebut menjadi sebuah tonggak. Dalam peringatan V-Day tahun berikutnya, Vagina Monolog dipentaskan di 252 kota di dunia, termasuk Jakarta. Pementasan ini adalah sebuah bentuk kampanye penghentian kekerasan terhadap perempuan. Di luar dugaan pementasan ini pun mendapat respon positif. Sebuah tanda kesadaran kolektif untuk memerangi semua bentuk ketidakadilan terhadap kaum perempuan.

Kesadaran kolektif tersebut menggambarkan bahwa banyak di antara kita yang melupakan perlakuan yang proporsional terhadap vagina. Ya, seperti bagian tubuh yang lain vagina pun butuh perlakuan yang adil. Vagina Monolog bukan sebuah pemberontakan. Ia adalah sebuah pesan kesetaraan. Sebuah pesan kebebasan, seperti yang digambarkan Ensler dalam salah satu baitnya.

Vaginaku membantu mengeluarkan bayi raksasa. Ia pikir, ia melakukan lebih dari itu. Tidak. Sekarang, ia ingin bepergian, tidak ingin ditemani banyak orang. Ia ingin membaca dan tahu tentang berbagai hal dan keluar lebih sering. (Christo Korohama/Manly)

Metroseksual Vs Uberseksual


Pria metroseksual menempatkan penampilan diri sebagai hal terpenting bagi mereka. Sementera bagi pria uberseksual kualitas dan integritas diri berada pada prioritas terpenting. Mampukah uberseksual menghadang laju mentroseksual yang terlanjur mewabah?


Siang itu seorang pria dengan tas kerja Alfred Dunhill di tangan nampak tergesa masuk ke sebuah salon kecantikan di bilangan Senayan. Sekitar satu jam berselang ia meninggalkan tempat itu, setelah creambath, facial dan pedicure. Pria itu tampak lebih segar dibalik Kenzo dan Hugo Boss yang membalut tubuhnya. Aroma parfum Bvlgary, merebak dari tubuhnya.

Pemandangan tersebut bukanlah sebuah hal yang asing. Pergi ke salon untuk perawatan tubuh dan memoles penampilan diri dengan asesori bermerek tak hanya menjadi milik kaum hawa. Pria yang dulunya identik dengan kesan urakan dan tak mampu mengatur diri, perlahan mulai terkikis.

Dalam beberapa tahun belakangan para pria di dunia telah mulai berpikir dan bertindak dengan lebih menonjolkan aspek feminim pada dirinya. Tren yang dikenal dengan istilah metroseksual ini bagai gelombang pasang yang melanda dunia. Di berbagai belahan dunia muncul para pria pesolek ini.

Seiring dengan itu perhatian kaum hawa pada pria seperti ini pun meningkat. Dan seperti bensin tersulut api, kaum adam pun seperti berlomba-lomba menjadi pria metroseksual. Penampilan telah menjadi suatu hal yang penting dan mutlak bagi pria metroseksual. Tak peduli uang yang harus dikeluarkan untuk keinginan tersebut tidaklah kecil.

Seperti wanita umumnya, pria metroseksual menjadikan penampilan yang prima sebagai obsesi mereka. Tanpa rasa risih mereka masuk ke salon, memasang kawat gigi, sampai operasi plastik, atas nama penampilan.

Meski terksesan kewanita-wanitaan sebenarnya, namun pria meteroseksual bukanlah pria homoseksual. Mereka adalah para pria yang sejati yang memiliki keluarga yang bahagia. Mereka sebernarnya adalah para pria narsistik, yang mengagumi dirinya sendiri. Mereka pun akan sangat tersanjung jika lingkungan sosialnya membicarakan hal-hal yang baik tentang dirinya.

Hasil survei Euro RSCG yang mencoba memantau perilaku pria di Inggris dan Amerika untuk penampilan fisik mereka, menunjukan bahwa 89 persen responden mengaku harus merias dan mempercantik penampilan diri adalah hal yang penting bagi mereka. 49 persen di antaranya tak keberatan jika laki-laki harus melakukan facial dan pedicure/manicure.

Salah satu sebab munculnya tren ini adalah realitas bahwa semakin banyak wanita yang bekerja. Munculnya para wanita yang bekerja membuat pria harus bisa tampil seimbang dengan para wanita yang secara alami tampil rapi dan terawat. Dan, pilihannya adalah mengikuti pola perawatan tubuh dan wajah seperti yang dilakukan oleh para wanita.

****

Keunggulan adalah segalanya. Kalimat itu menjadi semacam simbol baru di kalangan pria saat ini. Di awal tahun 2006 ini muncul semacam kesadaran di kalangan pria bahwa bahwa ukuran penilaian tak hanya melulu soal penampilan fisikal. Dan, kesadaran ini adalah sebuah kesadaran kolektif, sehingga menjadi sebuah tren baru dalam kehidupan kaum adam.

Penampilan fisik hanya menjadi prioritas kesekian bagi kelompok kaum adam ini. Bagi mereka hal terpenting adalah keunggulan kulitas. Marian Salzman penulis buku The Future Man, menilai saat ini kaum pria lebih memilih untuk tampil atraktif, dinamis dan antusias. “Mereka percaya diri, maskulin, bergaya dan sangat teguh pendirian pada kualitas yang bisa dikompromikan dalam setiap bidang kehidupan,” ujarnya menjelsakan.

Gaya pria seperti ini dianggap akan menjadi tren baru setelah metroseksual yang mendominasi gaya pria beberapa tahun belakangan. Uberseksual adalah nama yang diberikan untuk tren baru ini. Uber diambil dari kosakata Jerman yang berarti di atas atau superior. Sedangkan sexus berarti gender.

Pria uberseksual adalah pria yang menggunakan aspek positif maskulinitas, seperti kepercayaan diri, kepemimpinan, dan kepedulian terhadap orang lain dalam kehidupannya. Pria uberseksual lebih peduli pada nilai dan prinsip hidup. Pria jenis ini lebih memilih untuk memperkaya ilmu dan wawasannya di sela-sela waktu kosong yang dimilikinya.

Meski baru mulai dikenal di awal tahun 2006 namun diyakini tren ini akan segera menggantikan metroseksual. Munculnya tren ini tentunya memberi dampak yang tidak kecil di beberapa aspek kehidupan. Dampak yang paling jelas adalah semakin ketatnya persaingan di bidang pemasaran produk pria yang kehilangan sebagian market-nya.

Pihak produsen tentu tidak ingin kehilangan pasar yang telah cukup mapan dengan tren metroseksual.Pasar tentu akan terus dipengaruhi agar produk pria tetap bisa laku dijual. Perang opini tentu tak lama lagi akan ramai. Pembentukan opini publik akan sangat menentukan apakah uberseksual bisa menghalangi laju metroseksual.

Salah satu faktor yang cukup menentukan adalah para wanita. Bagaimanapun pandangan para wanita turut menentukan pilihan pria. Harus diakui semenjak munculnya tren metroseksual, wanita cenderung memilih pria jenis ini. Opini wanita terhadap uberseksual meski kecil akan menentukan eksistensi tren baru ini.

Namun, faktor dominan yang akan menentukan tetap pada pria. Menarik untuk melihat apakah pria lebih memilih untuk menghabiskan waktunya dengan berdandan di salon dan mengikuti gaya rambut terkini, ataukah membaca buku dan terlibat dalam kegiatan sosial. So, anda pilih yang mana? (Christo Korohama/Manly)

Masturbasi, Cerita yang Tak Usai


Masturbasi tak akan pernah lepas dari mitos. Diyakini baik bagi kesehatan pria dan wanita. Selalu mengundang debat ketika dibenturkan dengan norma. Masturbasi akan terus menjadi cerita menarik sepajang peradaban.

Onan sedang gelisah. Ia disusruh ayahnya Yehuda untuk menikahi janda almarhum kakaknya. Onan keberatan karena ia yakin bahwa anak yang nantinya lahir akan dianggap keturunan kakaknya. Maka, Onan kemudian memutuskan untuk menumpahkan spermanya di luar tubuh janda tersebut setiap kali mereka berhubungan seksual. Dengan cara itu, janda kakaknya tidak hamil. Namun, cara itu harus berakhir tragis, karena Tuhan murka dan Onan mati.

Nukilan kisah dalam Kitab Kejadian tersebut adalah awal munculnya aktifitas seksual yang dikenal dengan istilah onani atau masturbasi. Onani yang berasal dari nama Onan tersebut, dipakai untuk menggambarkan aktifitas seksual yang ditujukan untuk memberikan kepuasan dengan memberikan rangsangan oleh diri sendiri (autoerotism) atau dapat juga saling memberikan rangsangan seksual pada alat kelamin untuk mencapai kepuasan yang dikenal dengan mutual masturbation.

Hingga sekarang aktifitas seksual seperti ini masih mengundang perdebatan, apakah layak atau tidak. Beberapa pakar seks, melihat masturbasi adalah cara mencapai kepuasan seksual yang aman, karena sudah pasti dapat terhindar dari penyakit seks menular. “Masturbasi lebih menguntungkan dari sisi kesehatan dibandingkan dengan jajan seks di lokalisasi,” kata Leila Ch Budiman, seorang konsultan psikologi seperti dikutip Kompas Online.

Masturbasi juga adalah sebuah cara untuk menghilangkan ketegangan. “Masturbasi adalah hal alamiah bagi makhluk hidup sebagai sebuah sarana untuk menghilangkan ketegangan dan pemenuhan kebutuhan seksual,” ujar Profesor Peter Lim, seorang ahli urologi kepada Newman Magazine. Faktanya menurut Lim masturbasi baik bagi kesehatan. “Selama masa kesuburan jika produksi sperma pria tidak dikeluarkan secara teratur maka kualitas sperma tersebut akan memburuk, dan hal ini tidak cukup baik bagi kesehtan seorang pria” kata Lim menjelaskan.

Penjelasan Lim ini didukung oleh hasil penelitian Graham Giles dari Cancer Council Victoria Melbourne, Australia. Kesimpulan penelitian yang dipublikasikan di Majalah New Scientist tersebut menyebutakann makin sering seorang pria melakukan masturbasi terutama di usia muda memperkecil risiko terkena kanker prostat. Kanker prostat adalah salah satu jenis kanker yang menyerang pria di atas 50 tahun. Data yang dipublikasikan menunjukan bahwa penyakit ini telah membunuh 500.000 laki-laki setiap tahun.

Para peneliti melakukan riset terhadap 2.338 pria Australia. Dari jumlah tersebut 1.079 responden telah didiagnosa menderita kanker prostat. untuk mengetahui kebiasaan seks mereka dibandingkan dengan kemungkinan terkena kanker prostat. Laki-laki yang ejakulasi lebih dari lima kali seminggu pada usia 20-50 tahun risiko terkena kanker prostat semakin kecil. Keluarnya sperma secara teratur memungkinkan kelenjar kelamin menjadi bersih dan dan tidak tersumbat.

*****

Sebuah buku berjudul Onana yang ditulis oleh Samuel August Tissot, pada pertengahan abad 18 menguraikan beragam penyakit yang dapat timbul akibat masturbasi. Gaung dari buku ini sungguh luar biasa. Sampai dengan saat ini, di masyarakat berkembang mitos bahwa masturbasi dapat menyebabkan kelumpuhan, impotensi, mandul, sampai psikosomatis.

Mitos ini sudah dianggap benar di mata masyarakat. Hal ini pula yang membuat orang kemudian ragu dan dilematis untuk mengakui secara jujur telah melakukan masturbasi. Profesor Lim kepada Newman Magazine, kembali menceritakan pengalamannya di Singapura. “Banyak pasien saya datang dan mengatakan ‘dokter saya terlalu sering masturbasi dan mengalami ejakulasi dini’,” cerita Prof. Lim.

Munculnya naggapan seperti ini di masyarakat pun tak bisa disalahkan. Aktifitas seksual seperti masturbasi masih dilihat sebagai hal yang tabu dan tak pantas dilakukan. Kelompok agamawan menilai bahwa hal tersebut adalah dosa. Kondisi ini menyebabkan mitos seputar masturbasi terus dipelihara hingga saat ini.

Mitos tentang masturbasi menurut para dokter tidaklah tepat. Bahkan menurut Dr. Paul Tan, tak hanya pria, masturbasi yang dilakukan oleh wanita yang mengarah pada orgasme adalah hal yang sehat. “Wanita yang memendam hasrat seksualnya dan membiarkan dirinya meledak tanpa orgasme menyebabkan penyumbatan kronis di daerah panggul,” kata ginekologis Peter Tan.

“Ketika seorang wanita terangsang secara seksual maka darah akan mengalir menuju daerah sekitar panggul. Jika tercapai orgasme darah akan mengalir ke sel-sel di seputar panggul,” terang dokter Tan. Ia kemudian melanjutkan, “Saat tidak terjadi orgasme, maka darah akan menumpuk dan terasa penat.” Kondisi ini menurut dokter Tan, bila berlangsung lama dapat menyebabkan wanita kehilangan libido seks.

Penasihat Singapore Planned Parenthood Association ini menolak jika ia disebutkan menyarankan seoarang wanita melakukan masturbasi. “Saya tidak sedang mengatakan bahwa wanita seharusnya bermasturbasi, tapi saya ingin menegaskan bahwa seorang wanita yang melakukan masaturbasi jauh lebih menikmati seks dari pada wanita yang firgid,” tegas Tan. Ahli ginekologi ini juga menjelaskan bahwa pilihan untuk tidak malakukan masturbasi pun adalah sebuah pilihan yang benar, karena pilihan tersebut diambil atas dasar keyakinan bahwa tindakan itu benar.

Meskipun masih terus mengundang perdebatan di kalangan pemuka agama dan tokoh masyarakat, namun pada kenyataannya masturbasi juga memberikan keuntungan tersendiri secara sosial. Hasrat seksual yang tidak kesampaian dapat memicu tindakan yang tidak sehat secara sosial, seperti pemerkosaan, kriminalitas dan bentuk-bentuk pelecehan seksual.

Pendapat para dokter yang menyebutkan bahwa masturbasi adalah hal yang baik bagi kesehatan bukanlah sesuatu yang baru. Namun, tidak serta merta membuat akatifitas seks ini kemudian menjadi sesuatu yang lumrah. Realitas bahwa manusia hidup dalam sebuah tatanan sosial dengan norma agama dan etika membuat masturbasi memunyai nilai ambivalensi.

Dan, karena sifatnya yang ambivalen maka masturbasi harus dilihat hitam putih. Melakukan masturbasi harus dilihat sebagai sebuah pilihan yang dewasa dan bertanggungjawab. Tanpa itu, orang akan terus terjebak dalam kegelisahan dan rasa bersalah, karena masturbasi akan terus menjadi perdebatan sepanjang sejarah peradaban manusia. Selalu begitu. (Christo Korohama/Manly)

Wine, Segelas Kenikmatan


Cita rasanya beragam. Ada ritual tertentu sebelum menikmati wine. Selain keceriaan, minum wine, yang sudah mentradisi di Eropa ini, turut menaikkan gengsi.


Suara lembut Norah Jones lewat Come Away With Me mengalun pelan. Beberapa meja telah terisi malam itu. Di salah satu meja terlihat lima orang berpakaian rapi sedang asik berbicara. Tak semuanya lelaki, dua orang di antara mereka perempuan. Selang beberapa jenak seorang dari antara mereka memanggil pelayan. “Cabernet Sauvignon,” katanya. Ia kemudian larut lagi dalam pembicaraan dengan teman-temannya. Tak lama kemudian lima seloki Cabernet Sauvignon diantar ke meja itu.

Di antara sayup suara musik dan suara pengunjung yang lain toast yang dilakukan. Tak langsung di minum, mereka lalu menggoyang seloki, meneguk dan membiarkan minuman itu masuk menjelajahi setiap sudut mulut, baru kemudian menelannya perlahan. Kejadian di acara wine free flow di Vin+ Kemang itu sungguh menarik.

Pemandangan itu tak lagi asing untuk dijumpai. Walau bukan hal yang baku namun di beberapa kafe dan lounge wine, ritual tersebut menjadi hal biasa. Kadar alkoholnya yang hanya 15% membuat wine digemari. Selain itu, harga wine yang tidak bisa dibilang murah membuat minuman ini hanya dapat dinikmati oleh kalangan tertentu.

Minum wine membawa kenikmatan tersendiri karena tiap jenis wine memiliki rasa yang berbeda. “Kenikmatan tiap jenis wine akan terasa berbeda pada setiap orang,” kata Andy Koesanto pemilik Paprika Wine Lounge & Restaurant Jakarta. Hal itu juga yang membedakan wine dengan minuman spirit seperti cognac dan vodka yang cenderung memiliki rasa yang statis.

Perbedaan cita rasa wine disebabkan setiap jenisnya memiliki resep sendiri pada saat pembuatan. Pecinta wine biasanya memiliki hidangan favorit, disesuaikan dengan cita rasa wine yang sedang dinikmati. Ketika menikmati Chardonnay atau White Burgundy penikmat wine biasanya memilih ikan sebagai hidangan tambahan. Sedangkan ketika sedang menikmati Rieselling mereka lebih memilih sayuran sebagai teman wine.

Biasanya tiap orang memmpunyai favorit sendiri dalam memilih dan menikmati wine. Meski begitu para wine lovers selalu antusias ketika diajak untuk mencoba rasa anggur baru. Dalam acara wine tasting ini, biasanya semua peserta bebas untuk mecicipi cita rasa wine dan memberikan komentarnya. Penyelenggara kadang-kadang mengundang ahli wine terkenal untuk memberikan komentarnya.

Hal yang sangat unik adalah pendapat ahli wine dalam acara tersebut bisa saja berbeda-beda. Kenyataan tersebut memang bukan hal aneh dalam komunitas wine. Hal itu hanya untuk menunjukan bahwa selera tak bisa diadaili. Andy Koesanto pun mengamini. “Ini soal selera. Seseorang tak perlu merasa risih ketika apa yang dia rasakan berbeda dengan orang lain. Inilah seninya minum wine,” cerita pria yang sejak tujuh tahun lalu telah jatuh cinta pada wine ini.

Kenyataaan tersebut tidak dengan sendirinya mereduksi kualitas wine. Seperti pada minuman lain ada standar kualitas tertentu pada wine. Kualitas sebuah wine ditentukan oleh jenis anggur, tempat dimana anggur tersebut ditanam, cara pengolahan, fermentasi dan cara pembotolan. Iklim di suatu daerah berpengaruh pada kadar gula buah anggur. Kadar gula yang dikandung buah anggur akan sangat memengaruhi kadar alkohol yang dihasilkan pada saat proses fermentasi.

Sebagai sebuah contoh, seorang wine lovers bisa langsung mengetahui jenis anggur yang digunakan pada wine ketika membaca tulisan pada botol wine. Jika pada botol anggur ditemukan tulisan Chardonnay berarti anggur yang digunakan adalah chardonnay, jenis anggur berkulit putih. Daerah Chablis dan Cote d’Or, Perancis terkenal sebagai penghasil anggur jenis ini. Dengan kadar gula yang baik, hasil fermentasi chardonnay menghasilkan wine dengan rasa yang dry.

Meski bukan sebagai negeri asal wine, Perancis dianggap negeri penghasil anggur terbaik. Bagi masyarakat di negara tersebut wine menjadi bagian dari keseharian. Minimal sehari mereka meminum segelas wine. Minum anggur telah menjadi sebuah tradisi. Di daerah utara Perancis, seperti Reims dan Epernay terkenal sebagai penghasil Champagne, yang dibuat dari anggur chardonnay, pinot noir dan pinot meunier.

Meski di Indonesia minum wine belum menjadi tradisi, namun cukup banyak yang menggemari minuman ini. Wine menawarkan sesuatu yang berbeda. Selain cita rasa minuman ini hanya bisa dinikmati dalam suasana yang santai dan rileks. Pemandangan di lounge wine, bisa jadi bukti. Menikmati wine, pada gilirannya akan menjadi lambang identifikasi kelas sosial. Dengan wine, ada kesenangan, kenyamanan, dan gengsi. Di titik ini Cato the Elder benar ketika ia mangatakan, “If I were asked what of earth’s bounty, takes pride of place, I would say it is wine.” (Christo Korohama/Manly)

Cerutu, Sebuah Sentuhan Kenikmatan Kelas Atas


Botanical Garden Melbourne, Senin 11 Juli 2005. Addie MS duduk di salah satu sudut taman itu. Ia mencoba membuat jarak sejenak dari kesibukannya mengerjakan sebuah proyek musik di Negeri Kanguru itu, dengan menikmati sebatang cerutu Montecristo. Di taman yang menjadi salah satu tempat favoritnya untuk bercerutu ini, ia berharap mendapatkan inspirasi untuk proyek musiknya di antara asap cerutu yang dikulum dalam mulutnya dan perlahan dihembuskan keluar lalu hilang di antara dedaunan.
Addie mungkin satu dari sedikit orang yang berusaha untuk dapat menikmati cerutu favoritnya dengan cukup bebas tanpa perlu merasa sungkan terhadap orang di sekitarnya. Hal yang disayangkan Addie adalah tempat seperti Botanical Garden tidak bisa dia jumpai di Indonesia.
Menikmati cerutu, bagi mereka yang menjadikannya bagian tak terpisahakan dari rutinitas harian, adalah merasakan sebuah sentuhan kenikmatan kelas atas. Cerutu yang untuk pertama kali ditemukan oleh Christopher Columbus ini memang banyak digilai oleh kalangan kelas atas.
Colombus terkesan dengan ritual orang Indian ketika pertama kali mendarat di Keulauan Karibia pada tahun 1482. Upacara menghirup asap dari tumpukan daun-yang kemudian diketahui sebagai daun tembakau-melalui sebuah pipa, benar-benar membuatnya tertarik. Bagi orang Indian, ritual tersebut menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indian.
Dalam perkembangannya kemudian sekitar tahun 1800-an, di Kuba tepatnya di Quelta Abajo, mulai ada kegiatan membuat ‘rokok’ dengan menggulung daun tembakau. Kegiatan inilah yang menjadi awal pembuatan rokok dan cerutu, yang sampai hari ini menjadi salah satu komoditi yang paling dicari.
Di Indonesia, pertama kali cerutu diperkenalkan oleh orang-orang Belanda. Saking gemar bercerutu, Habraken seorang pengusaha dari Negeri Kincir Angin itu membangun sebuah pabrik cerutu di Yogyakarta yang diberi nama NV. Negresco. Ketika Belanda meninggalkan Indonesia dan perusahaan tersebut dinasionalisasi, NV. Negresco berubah nama menjadi PD. Taru Martani, yang hingga kini masih terus beroperasi sebagai produsen cerutu tak hanya untuk pasar Indonesia tapi juga merambah sampai ke Eropa.

Kualitas Cerutu
Kenikmatan cerutu sangat ditentukan oleh kualitas cerutu. Dalam memilih cerutu yang bagus, sebenarnya tidak ada teknik khusus. Hampir semua penikmat cerutu punya cara sendiri untuk menilai mana cerutu yang baik dan yang kurang baik. Meski demikian secara sekilas cara yang digunakan hampir mirip.
Biasanya yang diperhatikan pertama adalah performa cerutu. Dari tampilan warna cerutu biasanya langsung ketahuan kualitasnya. Cerutu yang baik berwarna cerah, dan tanpa bercak. Setelah itu biasanya seorang pencerutu akan mencium untuk memastikan aroma cerutu. Seorang penikmat cerutu tahu betul aroma khas cerutu berkualitas.
Ada kalanya penikmat cerutu juga mendekatkan cerutu ke telinga untuk mendengarkan bunyinya. Apabila bunyi yang terdengar seperti suara dau kering diremas, berartui cerutu ini sudah tidak cukup baik.
Untuk mengetahui kualitas ada juga yang menilainya dari harga cerutu. Semakin mahal harga cerutu biasanya kualitasnya semakin bagus. Cerutu Kuba saat ini masih dijual dengan harga tinggi. Bukan rahasia lagi, bahwa kualitas cerutu Kuba adalah yang terbaik di dunia.
Cerutu terdiri dari tiga lapisan tembakau asli. Filler ( isi ) merupakan komponen terpenting. Aroma cerutu akan sangat ditentukan oleh filler yang berisi campuran beberapa jenis tembakau. Yohanes M. Kedang General Manager Taru Martani, mengungkapkan, campuran filler sangat tergantung dari tempat di mana cerutu tersebut akan dipasarkan. “Kalau cerutu akan dipasarkan di eropa maka sedapat mungkin campuran tembakau isi, bisa mewakili rasa eropa, ada european taste, begitu pun kalau hendak dipasarkan ke amerika.”
Campuran tembakau isi tersebut diikat oleh selembar daun tembakau yang sedikit kasar ( binder ), lapisan terakhir adalah pembungkus luar atau wrapper yang merupakan daun tembakau tipis dan halus. Bagian ini harus tampak bagus dan menarik. “Itu berarti cerutu tidak sama sekali mengandung kertas. Hal ini yang membedakan cerutu dengan rokok biasa. Kenikmatan aroma tembakau murni inilah yang dicari para penikmat cerutu,” kata Kedang.

Kenikmatan Cerutu
Walau kenikmatan aroma tembakau yang dicari, namun banyak penikmat cerutu akan menjalani masa pencarian sebelum menentukan cerutu favoritnya. Biasanya para penukmat cerutu akan mencari informasi sebanyak mungkin tentang cerutu di samping mencoba jenis-jenis cerutu untuk kemudian memutuskan jenis cerutu yang menjadi kesukaannya.
Hal ini diakui oleh juga oleh Addie MS. Menurut dia, setiap penikmat cigar tentu akan melewati fase pencarian itu. “ Ada saat di mana seorang pencerutu mencari tahu perbedaan cerutu sampai akhirnya dia menemukan yang terbaik,” tutur suami Memes ini. Bagi konduktor kondang ini pencariannya berakhir ketika ia jatuh cinta pada Montecristo No.4. “Kalau kita sepakat untuk membuat perbandingan maka mungkin tak jauh beda dengan orang pacaran, pada akhirnya hanya satu yang dikawini,” katanya.
Menurut Yohanes M. Kedang, cerutu berbeda dengan rokok biasa. Pencerutu biasanya menikmati cerutu hanya sampai di mulut, kemudian asapnya dihembuskan keluar. “Asap cerutu dikulum di mulut lalu dihembuskan keluar. Bercerutu itu bukan smoking cigar, tapi enjoying cigar,” kata Kedang. Kenikmatan bercerutu itulah yang penting, meskipun bagi yang tidak terbiasa aromanya bisa membuat pusing.
Cerutu selalu membuat para penikmatnya merasa memiliki perasaan tertentu. Seorang penikmat cerutu dapat saja merasa menjadi lebih macho bahkan mungkin merasa lebih manly dengan sebatang cerutu di sela-sela jarinya. Hal ini bisa saja muncul karena image umum yang tertanam di benak orang bahwa cerutu selalu berhubungan dengan lelaki jagoan atau seorang Don dalam jaringan mafia.
Selain itu, menikmati cerutu sudah menjadi bagian dari gaya hidup modern. Dengan harga yang beberapa kali lipat dari rokok biasa, sudah pasti cerutu hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu.
Aroma cerutu yang tidak akrab di hidung semua orang, membuat para penikmat cerutu mencari tempat yang cukup nyaman dan tidak cukup mengganggu orang lain. Gunarwan Tenardi, salah seorang penikmat cerutu bercerita betapa dia sangat kesulitan mencari tempat untuk menikmati cerutu tanpa mengganggu orang lain saat dirinya berkunujung ke Bandung beberapa waktu lalu. “Waktu nyigar saya diperhatikan sama orang di sekitar. Saat itu baru saya sadar ternyata mengganggu,” kata General Manager Churchill Cigar House.
Keterbatasan tempat untuk dapat merasakan sensasi kenikmatan cerutu itulah yang membuat para penikmat cerutu membentuk komunitasnya sendiri. Biasanya mereka mengunjungi klub-klub cerutu di hotel-hotel berbintang. Di klub-klub itulah mereka memuaskan keinginan mereka untuk bercerutu dengan nyaman.
Selain menikmati cerutu di lounge cerutu hotel berbintang, para penikmat cerutu sering juga mengadakan cigar dinner atau cigar gathering di hotel-hotel berbintang. Ajang ini bisa dipakai oleh para penikmat cerutu untuk memperkenalkan koleksi terbaru cerutu sampai obrolan keseharian seputar masalah politik dan ekonomi, tentu saja obrolan ringan. Para pencerutu biasanya memilih wine sebagai teman kala menikmati cerutu, diiringi alunan lembut musik jazz Dalam acara ini menurut Addie MS, biasanya penyelenggara mengundang para cigar roller dari Kuba untuk unjuk kebolehan kepada para penikmat cigar.
Di antara kesibukannya yang tinggi Addie mengaku berusaha untuk bisa hadir di acara seperti itu. ”Selain kenikmatan dalam bercerutu, dalam acara seperti ini, saya bisa bersosialisasi dengan orang lain di luar dunia yang saya geluti selama ini,” papar Addie.
Menikmati cerutu bagi sebagian besar pencerutu adalah menikmati sebuah sentuhan seni tersendiri. Ada ritual tertentu yang biasa mereka lewati mulai dari mengambil cerutu dari box, memeriksa performa cerutu, sampai menyalakannya. Menyalakan cerutu pun tidak bisa sembarangan menggunakan korek api karena belerangnya dapat menghilangkan aroma nikmat cerutu.
Tak hanya sampai di situ. Menghisap asap cerutu, mengulumnya di mulut kemudian menghembuskannya keluar punya seni tersendiri. Begitu pun cara mematikan cerutu mempunyai seni sendiri. Para penikmat cerutu meyakini untuk mendapatkan kenikmatan sempurna dalam bercerutu, tiap tahapan ini harus dilewati dengan baik.
Rutinitas kerja setiap hari akan terasa membosankan bila kita tak mencoba untuk sekadar keluar dari kesibukan tersebut. Menikmati cerutu, boleh jadi adalah sebuah cara untuk menghindar sementara dari kepenatan kerja. Tariklah cerutu dalam-dalam dan biarkan sejenak fantasi anda menari-nari di antara kenikmatan aroma cerutu. Sejenak anda akan dibuai oleh kenikmatannya. Boleh percaya, boleh tidak, tapi ada sebuah kepercayaan para penikmat cerutu, “To smoke is human, to smoke cigar is divine.” Anda berminat ?. (Christo Korohama/Manly)

Kondom, Memikat Dengan Aneka Bentuk dan Rasa




Aneka bentuk kondom ditawarkan untuk memikat konsumen. Desain yang unik sampai kondom dengan aroma tertentu ramai dipasarkan. Masing-masing mencoba menawarkan sensasi lebih.


Laila Sultan, terkejut bukan kepalang, ketika menemukan sesuatu yang amat mengejutkan dalam sop kerang yang tengah disantapnya. Dalam sekejap keterkejutan yang nyaris sama hinggap pada teman sekantornya yang bersantap siang bersama saat itu.

Makan siang di McCormick and Schmick’s Seafood di Irvine, California, 26 Februari 2002 itu kacau, ketika Laila merasa sesuatu yang kenyal nyangkut di antara giginya. Rasa aneh membuat dia mengeluarkan benda itu dari mulutnya. Alangkah terkejutnya dia ketika mendapati benda kenyal tersebut adalah kondom. Sontak, Laila berlari ke kamar mandi, mual dan mulas hinggap di perutnya.

Kondom yang tiba-tiba ada di dalam sop kerang yang tengah disantap Laila tentu bukan merupakan bagian dari kampanye penggunaan kondom memang tengah gencar saat ini. Kampanye penggunaan kondom yang marak dilakukan tersebut dimaksudkan untuk mencegah penyakit seks menular, termasuk HIV/AIDS. Data yang dikeluarkan oleh www.aidsonline.com hingga akhir tahun 2004 39,4 juta orang di dunia saat ini hidup dengan HIV dan AIDS. Dari jumlah itu 37,2 juta di antaranya adalah orang dewasa. 19.6 juta dari jumlah orang dewasa itu adalah kaum pria!

Salah satu upaya untuk mencegah penyebaran HIV/AIDS adalah dengan melakukan hubungan seks yang aman dengan menggunakan kondom. Persoalan yang dihadapi adalah tidak semua pria mau menggunakan kondom, untuk itu produsen kondom berusaha untuk membuat terobosan dengan menciptakan kondom dengan aneka keunikan.

Perang produk kondom di pasaran kian seru. Salah satu produsen kondom mengeluarkan The Sensual Caress, sebuah varian kondom yang dilengkapi vibrator, berbentuk lingkaran dengan sejumlah jari jari disekililingnya. Jari-jari ini juga yang berfungsi sebagai vibrator, dengan kecepatan gerak yang bervariasi. Para pengguna kondom jenis ini menurut Majalah Gentlemen Quarterly akan mendapatkan sensasi lebih dalam berhubungan seks.

Selain bentuk yang unik dan warna yang menarik, ada produsen yang menambahkan sejenis alat penjepit pada kondom untuk menahan sperma dan menperlambat aliran darah sehingga ereksi jadi lebih lama. Kondom varian ini ditawarkan dengan desain bermacam-macam ada yang berulir, ada pula yang berbintik-bintik. Desain-desain seperti ini dimaksudkan untuk memberikan kenikmatan lebih kepada pasangan dari pengguna kondom.

Para pria yang menolak pemakaian kondom dengan alasan lapisan lateks yang tebal menghilangkan sensasi hubungan seksual hampir pasti kehilangan alasan karena lapisan lateks dibuat sangat tipis saat ini. Selain pertimbangan pemasaran, pertimbangan sosial untuk menghindari penyakit menular seks, produsen kondom telah beruapaya maksimal memenuhi kebutuhan pengguna.

Untuk menambah gairah para pengguna kondom, ada beberapa produsen kondom telah menambahkan aroma dan rasa tertentu pada kondom. Mulai dari aroma dan rasa mint, pisang, mangga, durian, jeruk, strawberry, sampai kondom rasa coklat. Semua untuk menambah sensasi tertentu ketika berhubungan seks. Tentu saja mereka tak akan pernah berpikir untuk membuat kondom dengan aroma dan rasa sop kerang seperti yang di santap Laila Sultan. (Christo Korohama/Manly)

The Lust Boys, Pria Pengumbar Nafsu















Pria pantai Mombasa menawarakan layanan seksual bagi wanita kulit putih yang melancong di sana. Dalam dekapan beach boys, para wanita merasa sebagai makhluk tercantik di bumi.


Para pria muda itu berdiri berjejer. Tubuh mereka kekar. hitam terbakar matahari Afrika. Terkadang mereka bergurau sambil tertawa. Sesekali tersenyum sambil menyapa ramah para wanita kulit putih yang berlalu di hadapan mereka. Selang beberapa jenak kemudian seorang wanita kulit putih yang tak lagi muda menggandeng salah satu dari mereka. Pasangan bak seorang nenek dengan cucunya itu kemudian menghilang diantara hiruk-pikuk keramaian wisata pantai Mombasa.

Mombasa, kota yang terletak di pantai timur Afrika itu menwarkan beberapa keunikan. Selain panorama pantai yang indah, juga para lelaki muda yang biasa disebut The Beach Boys menawarkan diri sebagai pemuas napsu birahi para wanita kulit putih. Dengan iming-iming segepok uang sebagai balas jasa beach boys menemukan peluang untuk sedikit bernapas lega ditengah himpitan kemiskinan dan penderitaan yang melanda Afrika pada umumnya.

Sudah menjadi kebiasaan hari pertama setelah tiba di Mombasa para wanita kulit putih itu akan beristirahat untuk memulihkan tenaga setelah menempuh perjalanan jauh. Untuk mendapatkan seorang teman wanita, para pria pantai ini melakukan aktifitasnya dengan perlahan namun pasti. “Tak usah terburu-buru, karena terkadang Si Putih sedikit takut pada pria-pria hitam,” aku Job seorang pria pantai Mombasa kepada Gentlemen’s Quarterly.

Setelah melewatkan sehari istirahat, dan tiba waktunya para wanita bule itu beranjak dari tempatnya menuju sisi kolam renang hotel. Di bawah rindang pohon palem wanita kulit putih ini tergolek sambil memolesi sekukujur tubuh mereka dengan coconut oil dan bersiap memacu gairah. Beach boy paham betul dengan ritual ini. Sesaat kemudian biasanya big mama akan kembali ke pantai. Di saat itu, lelaki pantai harus dengan sigap menerkamnya. Ketidaksigapan hanya berarti membuang peluang emas.

“Jambo!”, “Hello!” itulah kata pembuka yang biasa diucapkan para beach boy saat berkenalan dengan seorang perempuan bule. “Haruna matata” atau “No problems” akan meluncur dari mulut mereka begitu melihat perempuan bule mengulurkan tangan merespon sapaan pembuka tadi. Bila kontak sudah dimulai langkah berikutnya adalah mengintensifkan hubungan sampai gejolak birahi memuncak. Bila sudah demikian para beach boy tinggal bersiap memperoleh upah.


Sepanjang waktu, setiap hari di Mombasa ratusan pria berwajah gelap berdiri di sepanjang pantai. Mereka menawarkan aneka jasa. Perjalanan wisata dengan boat, wisata snorkeling, atau menjelajahi tubuh para wisatawati. Tak semua wisatawan senang dengan kehadiran para lelaki pantai yang berdiri menunggu pinangan untuk jasa yang mereka tawarkan. Bagi yang merasa tidak senang cukup mengatakan “No, thanks”. Dengan segera para pria pantai itu akan berlalu untuk mencari sasaran lainnya.

Meski demikian, bagi sebagian wisatawan terutama perempuan, beach boys adalah peluang. Dalam dekapan para lelaki belia Afrika ini, para wanita bule itu merasa sangat diperhatikan. Dan, si beach boy tahu benar bagaimana cara berhadapan dengan para perempuan ini.

Para beach boy ini mampu menawarkan perlakuan sesuai dengan latar belakang para wanita yang biasa mereka sapa sebagai Big Mama. Perlakuan kepada big mama yang sehari-hari bekerja sebagai guru akan berbeda dengan perlakuan mereka terhadap big mama yang bekerja sebagai perawat misalnya. Dengan sangat piawai, para beach boy itu menaklukan satu demi satu wanita-wanita bule yang menghabiskan liburan mereka di pantai Mombasa. Cara memikat seorang wanita yang berusia 50-an tahun akan berebeda dengan wanita 60-an tahun. Sang beach boy pun tahu bagaimana memperlakukan seorang janda, perawan tua, atau wanita kesepian karena diabaikan oleh pasangannya di rumah. Bagi kaum hawa yang mengalami krisis cinta, para lelaki pantai ini hadir dengan jurus ampuh yang mampu menjadi penawar nikmat sesaat

Big mama ini beraneka paras dan posturnya. Kondisi Mombasa yang miskin dan menderita membuat sosok big mama sebagai orang yang memiliki segalanya terutama uang sangat didambakan oleh para beach boy. Sekalipun bagi mereka uang menjadi alasan utama relasi yang dibangun, tidak demikian halnya bagi para wanita kulit putih itu. Big mama umumnya ingin agar mereka dicintai dengan tulus dan sungguh-sungguh.

Untuk memperoleh perhatian, beach boy harus meyakinkan big mama. Jika big mama sudah merasa yakin mendapatkan cinta yang tulus dari sang beach boy, maka mereka dengan sendirinya menjaga relasi itu. Pada setiap tahun big mama akan datang menghabiskan waktu liburan selama seminggu bersama dengan lelaki pantai kekasihnya tersebut. Selain itu setiap bulannya para beach boy akan dikirimi dollar.

Saat malam tiba, dibawah sinar bulan, di antara dingin angin malam beach boy mengantar big mama beranjangsana menuju nirwana kenikmatan bersama napas mereka yang memburu. Ketika mereka sama-sama terkulai, segepok dollar telah menanti sang beach boy. Peluh membasahi tubuhnya. Malam itu, ia baru saja mengawali sebuah langkah meretas jalan untuk keluar dari realitas kemiskinannya. (Christo Korohama/Manly)





MENGOBRAL KATA CINTA UNTUK BIG MAMA

Job seorang beach boy Mombasa memandang hamparan pantai Mombasa yang tengah ramai itu. Usianya tak muda lagi, 30-an tahun. Di usia seperti itu ia tergolong senior beach boy senior di Mombasa. Ia adalah salah satu beach boy terbaik di sana, dengan sedikit jalinan hubungan yang masih terjaga dengan perempuan bule eropa.

Seperti dituturkannya pada Gentlemen’s Quarterly ia kesulitan menghitung jumlah big mama yang telah ia layani. Dari mereka Job telah memiliki sebuah taksi uzur yang saat ini telah rusak. Untuk mendapatkan semuanya Job mengaku untuk sesering mungkin mengobral kata-kata cinta kepada big mama.

Job juga mengakui bahwa ia mempunyai seoarang pacar asli afrika. Sejauh ini sang pacar memahami jalan yang ditempuhnya dengan menjadi beach boy. “Ada kesepakatan yang kami bangun, dan dengan itu tertutuplah sudah ruang untuk perasaan cinta yang mendalam dan kepemilikan permanen dalam hubungan kami,” akunya.

Semuanya ini tentu tanpa sepengetahuan big mama yang kerap datang tiba-tiba. Para big mama ini menurut Job, begitu mempercayai laki-laki Mombasa. Sebuah kenyataan yang bertolak belakang karena para pria kulit hitam itu sama sekali tidak percaya pada wanita bule. Namun, untuk uang para lelaki pantai ini akan tulus dan baik hati.

“Jika seorang, big mama datang padaku, apa yang aku lakukan ? ” Job berandai-andai. “Aku akan bermanuver.”
“Mpenzi wangu nakupendasana” Sayangku aku sangat mencintaimu. (Christo Korohama/Manly)



TAK HANYA MOMBASA

Turisme seks tak hanya milik Mombasa. Perilaku ini adalah wujud dari era kebebasan seks yang kini semakin telanjang merasuki banyak negara. Di Indonesia, yang mirip-mirip dengan Mombasa adalah lelaki pantai Kuta Bali.

Kehidupan mereka sebagai lelaki penjaja kenikmatan seksual dibungkus dengan aktivitas sebagai penyewa papan selancar, maupun agen tour ke pelosok Bali. Sasaran empuk mereka adalah para wanita bule yang berlibur tanpa pasangan ke Bali. Dengan menawarkan diri sebagai guide, keakraban mulai terbangun.

Hubungan mulai diarahakan sebagai teman dekat untuk kemudian diakhiri di tempat tidur. Hubungan ini “meresmikan” mereka sebagai sepasang kekasih selam si perempuan bule berada di Bali. Setelah menjadi sepasang kekasih, lelaki pantai ini siap memetik hasil. Selain dari sang kekasih yang akan memanjakannya, ia juga menikmati komisi 10% dari pengusaha hotel, restoran, kafe serta tempat kerajinan yang disinggahi.

Rata-rata mereka menjalani kehidupan seperti itu karena tuntutan ekonomi. Tak sedikit di antara mereka yang berharap memperoleh keberuntungan ketika si bule mengajak nikah dan memboyong mereka ke luar negeri.(Christo Korohama/Manly)