Monday, November 16, 2009

Minoru Yamasaki, Setia Pada Kelembutan dan Seni





Ia dikritik karena menghasilkan karya yang selalu mengedepankan nilai estetika. Namun, dengan rancangannnya tersebut Minoru Yamasaki turut mengubah wajah dunia.


Ribuan orang sejak pagi, mengalir bak air dari tiap sudut Manhattan menuju Ground Zero, untuk memperingati tragedi WTC. Hari itu, 11 September 2003, dua tahun setelah peristiwa mengenaskan itu. Pukul 08.46 tepat saat pesawat United Flight 175 menabrak menara WTC bagian utara, suasana hening menggelayuti kota. Seluruh aktivitas dihentikan. Semua menundukan kepala, diiringi bunyi sirene dan lonceng gereja.

I like the way they looked down from the sky
And didn’t seem to mind the way I cried
And didn’t say, “No wipe away those tears”
But shining through the dark they calmly stayed
And gently held me in their quiet way
I felt them watching over me, each one
And let me cry and cry till I was done


Suara Peter Negron, anak salah seorang korban tragedi tersebut terdengar perlahan menggetarkan. Stars, puisi karya Deborah Chandra itu, seakan menyihir warga kota yang berkumpul di sana. Isak tangis mengiringi larik-larik puisi yang dibawakan anak lelaki 13 tahun itu. Bayangan akan tragedi tersebut seakan hadir kembali.

Saat pertama kali merancang WTC Minoru Yamasaki tentu tak pernah berpikir bahwa gedung karyanya tersebut akan menjadi ladang pembantaian bagi 3445 orang yang menjadi korban tragedi kemanusiaan itu. Ia seorang pecinta damai. "The World Trade Center is a living symbol of man's dedication to world peace,” kata Yamasaki.

Arsitek kelahiran Washington 1 Desember 1912 ini, tumbuh dalam keluarga yang miskin. Ayahnya John Tsunejiro Yamasaki bekerja sebagai seorang agen pembelian sedangkan ibunya Hana ( Ho ) Yamasaki, seorang pianis. Darah seni sang bunda mengalir juga dalam diri Minoru, dan membentuk dirinya sebagai sebuah pribadi yang lembut dan perasa.

Minoru Yamasaki sadar betul bahwa ia harus keluar dari kemiskinan. Untuk dapat melanjutkan studinya di University Of Washington, ia harus bekerja di pabrik pengalengan ikan di Alaska setiap musim panas. Pekerjaan itu dilakoni dengan upah US$17 sen per jam. Perjuangan Yamasaki memang berat. Namun ia selalu mau belajar. “Ketika memandang para pekerja yang lebih tua, saya merasa mereka akan menghabiskan hidupnya dengan sebuah kehidupan yang keras dan tertekan. Hal itu membuat bertekad untuk tidak membiarkan hal itu terjadi pada diri saya,” katanya pada suatu ketika.

Perjuangan Yamasaki muda tidak sia-sia. Ia menyelesaikan studinya di University of Washington pada 1934. Seorang arsitek muda terlahir, namun harus berhadapan paceklik lapangan pekerjaan bagi seorang arsitek di Washington. Yamasaki kemudian pindah ke New York.

Di kota ini, ia memilih melanjutkan studinya terlebih dahulu. Dari New York University, ia memperloeh gelar masternya. Setelah itu ia bekerja di sebuah perusahaan arstitektur. Seperti yang dituturkan oleh The Detroit Mirror, Yamasaki kemudian berhasil menjadi kepala bagian desain dari Smith Hinchman & Grylls, sebuah firma arsitektur terkenal di Detroit.

Setelah empat tahun, ia bersama dua orang rekannya, George Hellmuth dan Joseph Leinweber, keluar dari Smith Hinchman & Grylls. Mereka mendirikan firma sendiri di Detroit dan St. Louis. Melalui firma ini Yamasaki mulai unjuk gigi.Karya-karyanya bernilai seni tinggi. Kelembutan, dengan struktur bangunan digambarkan bak kain tenun menjadi ciri karya Yamasaki. Hasil rancangannya, McGregor Center di Detroit’s Wayne State University memperoleh penghargaan dari American Institute Of Architects.

Pada tahun 1959 ia mendirikan Yamasaki & Associates. Yamasaki merekrut banyak arsitek muda. Dan, dari firma ini mereka meniupkan sebuah aliran baru yakni nonfunctional decorative romanticism, yang bertentangan dengan gaya kontemporer dari Mies van der Rohe dan Eero Sarinen, dua orang arsitek terkemuka yang mempengaruhi gaya arsitektur di Detroit.

Tahun 1966, Yamasaki mendapatkan kepercayaan dari Port Authority untuk membangun Gedung World Trade Center di atas tanah seluas 6,4 hektar. Minoru Yamasaki mempelajari tak kurang dari 100 desain sebelum membangun tujuh bangunan yang terdiri atas dua menara kembar, Menara Satu setinggi 414 meter, dan Menara Dua 412 meter; kemudian satu gedung perkantoran 47 lantai dua bangunan perkantoran sembilan lantai; satu kantor Pabean AS delapan lantai; dan sebuah hotel 22 lantai.

Ketika menara selatan diselesaikan pada tahun 1972, Yamasaki harus menyaksikan penghancuran salah satu karya unggulannya, kompleks perumahan sosial Pruitt Igoe, St Louis, karena dianggap menjadi fasilitas hunian yang sarat masalah sosial. Namun itu tidak berarti habisnya karir Yamasaki.

Gedung WTC hasil rancangannya mengantarkan Yamasaki berada di jajaran arsitek yang turut mengubah wajah dunia, meskipun karyanya tersebut tak lepas dari kritik.Meski tak luput dari kritik namun menara kembar karya Minoru Yamasaki yang wafat pada 7 Februari 1986 itu akhirnya menjadi salah satu simbol kota New York. Gedung itu tetap angkuh berdiri menggapai langit sebelum runtuh oleh dua buah pesawat Boeing 767 pada, Selasa 11 September 2001.

Minoru Yamasaki mungkin menangis menyaksikan karya itu luluh lantak. Namun hidup masih harus berputar terus. Pemerintah New York bertekad untuk membangun sebuah bangunan di atas reruntuhan WTC. Siang hari 4 Juli 2004 peletakan ribuan orang kembali memadati Ground Zero menyaksikan peletakan batu pertama pembangunan Freedom Tower.

Ketika senja datang menjemput, warga kota yang berkumpul itu pun mulai meninggalkan Ground Zero. Bola matahari merah jingga perlahan surut di ujung garis Sungai East River yang tenang. Purnama muncul lalu berbaur dengan cahaya lampu kota yang memantul di East River. Dari tempat dia berada kini, Minoru Yamasaki mungkin akan tersenyum menyaksikan New York dan dunia memasuki sebuah lembar sejarah baru tanpa WTC, saat pagi menyapa.(Christo Korohama/Manly

0 Comments:

Post a Comment

<< Home