Monday, November 16, 2009

Vincent Van Gogh, Ironi Sebuah Kehidupan


Karyanya memecahkan rekor sebagai lukisan termahal di dunia. Sayang, ia tak menikmati sepeserpun hasil keringatnya. Depresi berat membuat ia menembakkan sebuah peluru ke dadanya.

Gustav Pauli, Direktur Bremen Art Museum Gallery, menghadapi gelombang protes dari kelompok seniman kota Bremen. Keputusannya untuk membeli lukisan The Poppyfields pada akhir tahun 1910 dengan harga DM 30 ribu membuat komunitas seni Jerman tercengang. Sebuah nilai yang tidak kecil pada masa itu.

Harga tersebut dinilai tidak masuk akal. Bagi para pemerhati seni di Jerman nilai tersebut terlalu mahal untuk sebuah lukisan pemandangan. Apalagi, lukisan itu adalah karya Vincent Van Gogh, pelukis tak terkenal berkebangsaan Belanda. Dan, jadilah protes itu kemudian dibumbui oleh isu nasionalisme.

“Spirit sebuah bangsa hanya bisa diciptakan oleh seniman yang darah dan dagingnya berasal dari bangsa tersebut. Bukan berasal dari seniman bangsa yang lain,” kata Carl Vinnen, pelukis lokal Bremen menanggapi kejadian yang jadi polemik di Bremen selama tujuh bulan sejak The Poppyfield dibeli.

Vincent Van Gogh boleh jadi belum terkenal pada masa itu. Putera sulung pasangan Theodorus Van Gogh dan Anna Cornelia née Carbentus ini adalah seorang pemurung. Ia selalu berkutat dengan pemikirannya sendiri, sebuah kebiasaan yang membuat dia mengalami gangguan psikologis. Saat usia sembilan tahun Vincent bersekolah di Zevenbergen Belanda, tempat ia belajar bahasa Perancis, Inggris dan Jerman. Di sini ia pertama kali mulai berkenalan dengan kanvas dan melatih tangannya untuk menari bersama kuas di atasnya.

Den Haag menjadi kota tujuan segera setelah ia menyelesaikan sekolahnya pada 1869. Atas bantuan Uncle Cent, salah soerang pamannya, Van Gogh magang di Goupil & Cie, sebuah agency seni yang berpusat di Paris dengan beberapa cabang di Eropa. Van Gogh lalu mulai sering mengunjungi museum dan galeri seni di Den Haag.

Ia kemudian dipindahkan ke Goupil & Cie cabang London.di tahun 1873. Di kota ini Van Gogh jatuh cinta pada seorang gadis yang juga adalah adik dari pemilik rumah. Hubungan mereka tak lama. Ketika si gadis memutuskan hubungan mereka, Van Gogh sangat terluka dan depresi. Ia sangat terguncang. Kondisi psikologisnya mulai terganggu. Van Gogh lalu pindah ke Paris.

Luka akibat kegagalan cintanya membuat dia meninggalkan pekerjaannya dan kembali ke Inggris untuk melanjutkan sekolahnya di Ramsgate. Ia memilih belajar teologi, dan dalam waktu setahun setelah itu, atas referensi dari Pendeta T. Slade Jones, ia menjadi guru kitab suci. Ia kemudian kembali ke Amsterdam dan melanjutkan studi teologi sambil bekerja di sebuah toko buku. Saat meneyelesaikan pendidikan, ia menjadi seorang yang sangat fanatik pada kitab suci dan mengikuti ajaran kitab suci secara radikal.

Vincent Van Gogh lalu meninggalkan Belanda menuju sebuah pertambangan di Borinage Belgia. Dalam kehidupan yang serba prihatin di pertambangan itu ia mulai mengajarkan kitab suci kepada para pekerja tambang. Dalam kondisi serba miskin ini keinginan untuk melukis mulai tumbuh lagi dalam dirinya. Sekitar tahun 1880 ia memutuskan meninggalkan pekerjaannya sebagai pewarta kitab suci dan sepenuhnya melukis.

Ia mulai melukis para pekerja tambang dan kemelaratan para tukang tenun di sekitar area pertambangan. Theo adiknya mulai membantu dia untuk belajar melukis pada Hendrik Weissenbruch dan George Hendrik Breitner. Di masa inilah ia bertemu Clasina Maria Hoornik seorang pelacur yang telah memiliki seorang putri dan tengah mengandung. Mereka berdua kemudian memutuskan hidup bersama.

Ia terus belajar melukis, meski kesehatannya tak cukup bagus. Ia sempat menjalani perawatan di rumah sakit selama tiga minggu karena mentalnya terganggu. Ia mulai melukis dengan menjadikan Clasina dan bayinya sebagai model, setelah selesai menjalani perawatan. Tak lama berselang Van Gogh meninggalkan Clasina dan mulai hidup untuk melukis. Ia pergi ke Drente, di bagian utara Belanda dan mendirikan studio lukisan di situ atas bantuan Theo.

Di studio ini ia menghasilkan beberapa karya di antaranya The Potato Eaters yang mendapat pujian luas. Van Gogh lalu pindah ke Paris dan mulai berhubungan dekat dengan beberapa pelukis di antraranya Bernard dan Paul Gauguin. Tak betah di Paris ia pindah lagi ke Arles di sebelah selatan Perancis. Ia mendirikan studio Yellow House, tempat ia menghasilkan karya-karya terbaiknya. Ia mengajak temannya Paul Gauguin untuk bekerja bersama agar menghasilkan karya yang dapat diterima komunitas seni.

Dari Yellow House mereka berkarya dan terlibat diskusi tentang seni. Perbedaaan pandangan antara mereka selalu bisa diatasi, sampai pada tanggal 23 Desember 1888 tiba-tiba Vincent menyerang Gauguin dengan silet. Persahabatan keduanya rusak sebelum cita-cita mereka terwujud. Menyesal dengan tindakannya Van Gogh menyayat telinga kirinya hingga putus. Ia depresi berat. Theo menemuinya dan mulai membantu perawatannya.

Ia dirawat di rumah sakit jiwa Saint Paul de Mausole. Di rumah sakit ini ia menghasilkan sebuah karya monumental, Starry Night. Ironis, karena di saat ia mengalami gangguan mental dan berada di rumah sakit jiwa, karyanya justru diterima di komunitas seni Eropa. Starry Night menjadi salah satu dari enam karyanya yang diikutkan dalam pameran lukisan di Salon des Indépendants pada bulan September dan Nopember 1889.

Setelah keluar dari rumah sakit jiwa, ia terus melukis meski berada dalam pengawasan dokter karena mentalnya yang belum stabil. Adiknya Theo yang saat itu sedang dalam kesulitan keuangan tak sempat mengawasi ketika siang hari 27 Juli 1890, sambil berjalan di taman ia menembakkan pistol ke dadanya. Lelaki kelahiran 30 Maret 1853 itu tak langsung meninggal. Ia kembali ke rumah dalam keadaan terluka namun tak memberi tahu seorang pun.

Kondisinya memburuk malam itu. Keesokan harinya Theo datang. Dalam pelukan Theo ia hanya berucap “I wish could pass away like this.” Pagi-pagi tanggal 29 Juli 1890 seluruh cerita hidup Vincent Van Gogh yang dipenuhi kisah getir itu berakhir. Meski begitu ia terus akan dikenang seperti yang dikatakan Don Mc Lean dalam syair lagu Vincent yang terkenal itu.
For they could not love you, But still, your love was true
And when no hope was left inside
On that starry, starry night
You took your life as lovers often do --
But I could've told you, Vincent:
This world was never meant
For one as beautiful as you…
(Christo Korohama/Manly)


Sebuah Pengabdian Untuk Seni Lukis

“Dan, tujuanku dalam hidup ini adalah melukis sebanyak yang aku bisa lakukan, kemudian di akhir hidupku saat aku meninggal, aku akan menoleh kembali dengan cinta dan sedikit sesal lalu berucap, ‘Oh, itu lukisan yang pernah kubuat’”.

Petikan surat Van Gogh kepada Theo adiknya itu, menegaskan bahwa lelaki yang mengiris kupingnya sendiri setelah bertengkar dengan temannya ini memang hanya ingin melukis dan melukis sepanjang hidupnya.

Vincent Van Gogh mendedikasikan sebagian besar hidupnya untuk melukis. Pria setengah gila ini mencurahkan seluruh hidupnya untuk seni tanpa pernah mau peduli berapa banyak yang ia dapatkan dari karyanya.

Setelah ia meninggal, tarian tangannya dia atas kanvas mulai dihargai tinggi. Puncaknya ketika lukisan The Portrait of Dr. Gachet memecahkan rekor sebagai lukisan termahal di dunia. Ryoei Saito membeli lukisan tersebut seharga USD 82.5 juta pada tahun 1990.

Ia tak pernah menikmati sedikitpun hasil karyanya. Kenyataan hidupnya membuktikan perjuangan untuk sebuah eksistensi di dunia seni. Ironis, karena pengakuan atas karyanya didapat setelah dia meninggal. Seperti julukannya, Sang Pemurung Sejati, Vincent van Gogh adalah puncak kehampaan dan kesendirian.

Ia mungkin tak peduli dengan semua itu. Ia pun mungkin hanya tersenyum mendengar alasan pengunjung yang rela antri berjam-jam saat cuaca di bawah 10 derajat Celcius pada Pameran Lukisan The Poppyfield and the Artist's Protest, di Bremen 19 Oktober 2002 sampai 26 Januari 2003. Mereka cuma punya satu alasan: Vincent Van Gogh. (Christo Korohama/Manly)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home